1.Ini
adalah pepatah lama, tetapi tetap dipercaya hingga sekarang yaitu, Surga di
telapak kaki ibu. Nggak usah buru-buru ngintip kaki ibu lo deh, bukan begitu
caranya untuk menemukan surga itu.
2.Perempuanlah
yang bisa membawa kehidupan baru ke dunia ini. Hamil selama sembilan bulan,
melahirkan yang prosesnya nyawa jadi taruhan… Wihh! Hanya Arnold
Senengmainanggar dalam film Junior, laki-laki yang bisa melahirkan.
3.Cewe
bisa bebas bergandengan tangan dengan sahabat dan teman cewe. Apa jadinya kalo
dua orang laki-laki kedpatan melakukan itu?? Hhahaha :D langsung deh itu laki
berubah menjadi seleb yang digosipin dan jadi topic rumpian.
4.Datang
bulan (haid) kadang bisa dimanfaatkan. Lagi ujan deras dan pengen di kamar
seharian? Tinggal bilang nggak bisa masuk sekolah karena lagi sakit dating
bulan. Coba aja laki-laki yg menggunakan lasan yang sama, pasti dianggap sudah
sinting!
5.Perempuan
punya temen unik. Tau nggak sih? Menyenangkan banget loh berteman dengan maho…
Apalagi maho yg up to date gituu. Bisa ngobrol seru sama mereka tentang mascara
yg paling oke, hair style yg paling keren, juga mereka adalah pengamat dan
advisor mode yg paling jitu.
6.Nggak
ada rambut-rambut yang tumbuh di wajah setiap pagi. Artinya, nggak perlu
menyiksa diri dulu dengan pisau cukur, shaving foam, after-shave sebelum keluar
rumah. Lo perlu loh berterimakasih untuk hal yg satu ini ;)
7.Mau
rambut panjang, ikal, pendek, lurus… Semuanya terserah! Perempuan punya hak
eksklusif untuk menata rambut supaya terlihat menawan. Bahkan untuk model
rambut paling ekstrem sekalipun. Nggak kayak laki-laki, paling Cuma bisa
bereksperimen dengan wax untuk rambut pendeknya.
8.Senang-senang
tapi tanpa keluar uang? Bisa! Pasti tau dong yang namanya Ladies Nite… Datang,
gratis biaya masuk dan dapat minuman. Minuman gratis kedua akan menyusul
setelah lo flirting dengan cwok yang di sebelah. Well, jangan pernah ngelakuin
yang nomor 8 ini. Karena nggak baik yang suka clubbing dan kamu mesti SAY NO TO ALCOHOL…!
9.Dapet
cincin berlian pas dilamar. Meski mungkin nggak sebagus punya selb-seleb
Hollywood, tetap aja itu adalah benda yang bikin surprise.
10.Bergaya,
tapi tetap hemat. Habis beli sling bag, habis beli gaun baru, habis beli
bangles baru, pokoknya budget terkuras habis deh… tapiii, lo masih bisa tetep
kencan di tempat yang lo suka tanpa perlu mengeluarkan dompet. Cukup tersenyum,
ucapkan kalimat manis ke doski dan selamat menikmati kencan. Biarkan urusan
pembayaran biaya kencan menjadi hak prerogative doski (kan kita lagi sangat
menghormati laki-laki) Wkwkw…
11.Intuisi
perempuan lebih tajam disbanding laki-laki. Cewek biasanya tahu kalau
pasangannya mulai bertingkah aneh-aneh di belakang. Jangan heran kalo elo
cowok-cowok pas lagi berduaan sama cwek lain, suka mendadak dapat telp dari
pasangan lo kann??
12.Bila
ban motor/mobil lo mendadak kempes. Susah memang memaduka jari lentik hasil
french manicure dengan dongkrak, tapi.. lo bisa punya cara yg mudah untuk
mengantinya. Cuup keluar dari mobil dan pasang pose terbaik maka bala bantuan
akan mengalir deras. Note: Untuk yg berpenampakan nenek lampir, kayaknya ini
nggak berlaku deh.
13.Perempuan
pinter banget memadukan busana. Dijamin, nggak akan ada laki-laki yg berani
tampil di depan umum dengan tanktop motif cerah perpaduan warna fuschia dan
kunig atau pakai celana skinny biru dari bahan kulit yang mengkilap blink
blink.
14.Ladies
first. Dua kata sederhana ini membuktikan bahwa perempuan selalu didahulukan
daripada kaum laki-laki. Tapi kok sekarang banyak laki-laki nggak malu bersaing
rebutan sama perempuan, misalnya pas mau antri bayar belanjaan di kasir
supermarket yakhh??
15.Bosen
mengenakan wewangian yang aromanya feminim? Tenang!! Lo masih bisa make parfum
pria yg wanginya maskulin. Ntar jatohnya akan terkesan sensual di body lo. Coba
kalo cwok yang makai wewangian feminim? Hahahahahaha… orientasi sexnya perlu
dipertanyakan tuh.
16.Iyaaaahhh,
Laki-laki emang terkenal pintar nyetir. Tapi, lo tenang aja klo cara nyetir lo
diketawain. Cuma perempuan yg bisa pakai akselerasi sambil make sepokat
high-heels. Ready, get set, and go!!
17.Perempuan
lebih kuat. Nggak percaya? Cuma perempuan yg bisa muterin mall seharian sambil
nenteng 10 kantong belanjaan dengan hati riang gembira hingga fajar tenggelam
ke ufuk barat. Coba kalau cwok yg disuruh bawa, pasti ngomel tuh :p belom lagi…
Cuma cewek yg sanggup membawa dua gunung dan satu taman sekaligus seumur
hidupnya.
18.Pernah
dengar Rumah Sakit Ibu dan Anak? Sayang yaa.. Belom ada tuh yg namanya rumah
sakit bapak dan anak. Hari ibu juga, nggak ada hari bapak!
19.Perempuan
punya rangkaian perawatan tubuh dan tat arias super lengkap. Mulai dari alas
bedak berbagai warna hingga varian2 body lotion. Produk sejenis terbilang masih
jarang untuk laki-laki. Nggak heran kalo perempuan selalu tampil ekstra memikat
dan memiliki kulit yg lebih halus dibanding laki-laki.[]
Siapa sih makhluk tuhan yang diberi gelar guru? Tentu semua orang sudah
tahu pengertiannya. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru (dalam bahasa jawa
kuno) yang artinya orang yang patut kita teladani dan kita ikuti. Dari hal itu
kita harus menyadari bahwa menjadi guru itu tidak mudah karena apapun yang kita
lakukan niscaya akan dicontohkan oleh muridnya. Jadi, seorang guru haruslah
menjadi orang yang baik bagi murid atau anak didiknya.
Terus muncullah pertanyaan di dalam benak kita, gima sih kriteria seorang
guru yang sering jadi favorit bagi muridnya? Tentu jawabannya tidak mudah dan
tentunya setiap murid punya jawaban yang berbeda. Dan ini 10 kriteria guru yang
nyata dan menarik berdasarkan sifat dan sikapnya masing-masing.
Kriteria pertama yaitu: OTORITER. Mendengar kata otoriter saja telinga
kita serasa risih dan rasanya ingin mengakhiri pembicaraan ini. Wajar saja,
guru ini paling ditakuti dan dibenci oleh muridnya. Soalnya beliau selalu
menyulitkan, bukannya pelajaran masuk tapi kami malah takut memandang paras
wajahnya yang seram dan menakutkan. Selain itu, guru yg satu ini tidak
segan-segan menghukum muridnya dengan hukuman yang bisa menyiksa fisik dan
mental, jiwa dan raga bahkan lahir dan bathin. But “it's my teachers”.
Kritea kedua yaitu: TEORITIS. Guru ini memegang teguh yang namanya teori
dalam pelajarannya, sampai-sampai sering dimasukkan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Padahal itu nggak penting-penting banget kok. Biasanya guru ini
memiliki temperamental rendah sehingga sering mendapat olokan dari kami. But “it’s my teachers”.
Kriteria ketiga yaitu: SERIUS. Guru ini sangat amat menginginkan anak
didiknya mengerti dan paham akan apa yang diajarkannya sehingga beliau tak
segan memarahi murid yang mengganggu dalam proses belajar. Guru ini biasanya pemarah.
Hal ini baik sih, tapi kalau serius terus yang ada malah semua murid jadi
stress. But “it’s my teacher”.
Kritearia keempat yaitu: CUEK. Guru ini paling sulit dimengerti jalan
pikirannya, soalnya beliau hanya memberikan dan terus memberikan materi yang
seharusnya kami dapat tanpa mau berpikir keras agar kami paham. Dan pada
kenyataannya, sebagian besar murid hanya diam dan terpana akan tingkahnya yang
konyol. But “it’s my teachers”.
Kriteria kelima yaitu: LEBAY alias berlebih-lebihan. Guru yang satu ini
agak aneh dan unik. Pasalnya, beliau terkesan selalu membuat hal-hal sepele
menjadi besar dan menggemparkan sehingga beliau akan dating sebagai superhero
yang berhasil meredam hal itu. Melihat hal itu kami hanya dapat berdiam diri
dengan memasang wajah antusias dan kadang tertawa kecil. But “it’s my teachers”.
Kriteria keenam yaitu: SOK bin SOMBONG. Nah, guru yang satu ini sangatlah
membuat murid menjadi muak akan omongannya. Pasalnya, beliau terus berbicara
dengan nada yang lantang bagi seorang inspiratoryang terus membanggakan diri
dan orang-orang yang kenal dengan beliau tanpa ada bukti-bukti berarti. Hal
itulah yang membuat beliau terlihat sangat terkenal di hadapan kami. But “it’s my teachers”.
Kriteria ketujuh yaitu: SEMAUNYA. Guru ini sering kita jumpai tanpa kita
merasa sadar akan kehadirannya. Guru ini sering membuat aturan-aturan yang
hanya menyulitkan kami dalam berkreasi di dalam kelas. But “it’s my teachers”.
Kriteria kedelapan yaitu: ENJOY. Guru ini bersikap cool tanpa tersirat
sedikit pun wajah yang dapat membuat kami terbelenggu dalam penjara pendidikan.
Guru ini banyak disenangi oleh murid. Soalnya, materi-materi yg diberikan
terkesan mudah dipahami karena penyampaiannya yg bersahabat tapi tidak sedikit
murid yg menyalahgunakan hal ini sehingga mereka terkesan bermalas-malasan dan
guru ini kurang dihargai. But “it’s my
teachers”.
Krteria kesembilan yaitu: HUMORIS. Guru ini paling banyak mendapat respon
dari murid. Hal ini dikarenakan beliau tdak segan-segan untuk menjadikan
dirinya bahan olokan bahkan beliau sering mengeluarkan hal-hal yang konyol yang
dapat membuat kami terhipnotis dari kejenuhan dalam belajar. Guru ini sering
kita jumpai hampir disetiap angkatan. But
“it’s my teacher”.
Kriteria kesepuluh yaitu: PENGERTIAN. Guru ini paling dihormati, dan
disayangi oleh murid karena beliau selalu dan terus mencoba untuk mengerti kami
selaku murid sehingga secara tak sadar kami pun merasa patut untuk mengerti dan
memahami apa yang beliau inginkan sehingga terjalinlahsuasana kehangatan cinta
di kelas. Hal ini menjadikan kami serasa belajar di rumah sendiri dengan
suasana keakraban yang kental. Namun, guru ini sangat sulit untuk dideteksi
alias sulit untuk dicari. Bagaikan mencari jarum ditumpukan jerami, sulitkan? But “it’s my teachers”.
Itulah guru-guru yang pernah kujumpai selama perjalanan hidupku. Ironis
sih kedengarannya but “it’s my teachers”,
orang yg telah diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk membuatku memiliki
kepandaian, kemampuan, pengalaman, dan banyak hal lain yang membuat hidupku
lebih berarti dan bermanfaat, baik bagi diriku sendiri maupun bagi orang lain.
Beliau tidak segan-segan menyerahkan hidupnya untuk berbagi ilmu dengan orang
lain sehingga pantas beliau disebut “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” dan orang tua
kedua dalam kehidupanku.
So’ bagaimana pun sifat dan sikap gurumu, jangan pernah sekalipun kita
membuatnya merasa tersakiti karena beliau hanyalah manusia biasa yang memiliki
kekhilafan, sifat dan sikap masing-masing. Kita yang sekarang tak aka nada
apa-apanya tanpa jasa-jasa beliau yaitu, Guru. Thanks to my teachers before :D
*)Diadopsi dengan perubahan dari Buletin Dwimingguan SPIRIT SMADA Edisi
XXXI, 26 okt ‘11
Jalanan semakin sunyi. Tidak ada lagi suara menderu
kendaraan, kayuh sepeda ontel, serta tawa bocah-bocah kecil yang selalu
menyapanya sepulang sekolah. Jembatan desa yang sering ia jadikan berpijak
untuk melihat sketsa senja, bisu tak bertuan. Hening. Menghitung waktu yang
semakin melambat. Inilah saatnya lukisan itu diputar. Lembayung senja semakin
jelas terbias, menampakkan jingga yang menawan. Dia bisa merasakan hangatnya
sang surya. Lamban-lamban ia mendengar angin membisik membelai lembut kulitnya.
Dalam kebisuan sukmanya terpana.
Gadis itu menyukai senja, cahaya
keemasan yang hilang dibatas kota. Setiap ada masalah, dia selalu berlari
menuju jembatan lalu menatap lekat-lekat sisa keperkasaan mentari. Cahaya itu
menghilang perlahan, digantikan sinar keperakan yang menyapuh genting
permukiman penduduk di sisi jembatan. Dia menyukai senja, bukan karena
cahayanya yang terlihat indah. Melainkan setiap kali dia melarikan masalah yang
memagut dan mencekamnya hingga sulit bernafas, di tepian jembatan itulah dia
merasa damai. Sedamai bukit di pedesaan hijau, sedamai langit biru.
***
Usiaku
menapak lagi, tepat dihari ini seseorang mengirimkanku setangkai bunga beserta
surat beramplop biru langit. Ah, matahari
lagi, gumamku lirih seraya membaui bunga itu.
Matahari untuk sahabatku,
Mencairkan suasana murung,
Meredam sedikit luka terbungkam.
Matahari untuk sahabatku,
Biarkan semerbaknya mewangi,
Seperti harum kesturi,
Ketika umurmu telah mendaki.
Happy Anniversary!
Intan
Aku
tersenyum. Entah sejak kapan Intan memutuskan menulis puisi di usianya yang
sangat dini. Aku bahkan tak ingat persis berapa angka yang mewakili kata dini
tersebut.
Aku harus
melanjutkan sekolahku di kota. Aku kini tinggal di sebuah rumah kos putri tidak
jauh dari sekolah. Rumah itu hanya dihuni empat orang, yaitu aku dan dua orang
mahasiswa, lalu sisanya nyonya rumah itu sendiri yang sudah setahun menjanda
ditinggal suaminya yang menikah lagi. “Hidup dikota tidak sama seperti
dikampung.” Ujarnya. Matanya tergenang bulir bening namun beliau berusaha
menutupinya dengan sedikit bercanda. Aku tak bisa bilang selera humor nyonya
itu bagus, namun aku selalu tertawa dibuatnya. Berbeda dengan dua orang
mahasiswa disebelah kamarku. Mereka lebih sering menghabiskan waktu diluar.
Sangat jarang aku melihat mereka berada dirumah.
Intan sesekali mengirimkanku surat.
Kebanyakan isinya puisi lalu sisanya hanya cerita yang menurutku selalu
menarik. Aku tidak pernah membalasnya. Hanya kubiarkan teronggok di laci meja
belajar. Intan sendiri tidak pernah protes akan hal itu.
Di sekolahku
yang baru, aku hanya sendiri. Entah mengapa semua orang lebih sering menjauh.
Tak jarang mereka berbisik lirih ketika aku
lewat di koridor sekolah, melirikku dengan tatapan entah itu kebencian
atau kekesalan.
Aku masih
bisa tersenyum saat itu. Setiap pulang sekolah, sehabis sholat ashar, tempat
yang pertama kali aku datangi adalah atap di samping balkon kamarku. Duduk
menunggu senja tiba sambil sesekali bersenandung lirih itu yang selalu
kulakukan. Semua yang terjadi aku ceritakan pada segurat cahaya emas diujung
langit. Tak ada keluh kesah, hanyar sekedar cerita sederhana seorang gadis
malang sepertiku. Senja itu selalu bisa membuatku damai, tak pernah terpintas
olehku untuk menyimpan dendam pada semua orang itu. Seperti itulah senjaku,
senja yang selalu aku banggakan dan selalu aku simpan dalam-dalam di lubuk hati
agar tak ada orang yang mengambilnya.
Enam bulan bersekolah
dikota bukan hal yang mudah. Semuanya kujalani penuh kesabaran. Beruntung
sekali aku selalu bisa bersama senja. Menatapnya lekat-lekat tanpa takut malu
dilihat orang seperti saat aku berada ditepi jembatan desa. Menghabiskan petang
yang singkat itu dengan semua cerita-ceritaku. Semuanya terasa begitu menyenangkan,
tapi tidak saat aku berada disekolah. Cerita yang sama seperti diputar ulang
setiap pagi hingga matahari memuncak. Terkadang aku bosan, lalu berharap semoga
senja segera tiba.
Hingga suatu ketika, untuk pertama
kalinya aku membolos karena aku sudah tidak tahan berada dikelas, melihat
orang-orang yang selalu mengoceh tiada henti, juga mereka yang selalu berbisik
lirih tentangku. Tujuanku saat itu adalah mushola sekolah. Dalam benakku,
mungkin saja orang-orang di mushola itu lebih berbaik hati untuk berbincang
atau hanya sekedar bertegur sapa denganku. Hal itu sudah sangat cukup untuk
melegakan sedikit batinku yang tersiksa.
Aku harap begitu. Apa yang kutemui
sungguh sangat mengejutkan. Tepat seperti dugaanku, seorang perempuan tersenyum
sambil melambaikan tangannya di depan pintu mushola. Aku membalas senyumannya
dengan suka cita. Entahlah, perasaan bahagia tiba-tiba meluap memenuhi rongga
dada. Sudah satu semester lebih aku bersekolah disini dan baru sekarang ada
orang yang mau melambaikan tangannya untukku, bahkan tersenyum. Tiba-tiba saja seseorang menabrakku dari
belakang lalu menghampiri perempuan yang melambaikan tangan tadi.
“Hai, Bunga. Sudah selesai sholat,
kan?” Tanya perempuan yang menabrakku tadi. Oh,
jadi namanya Bunga, sahutku dalam hati.
“Yup.” Jawab perempuan yang
dipanggil Bunga itu sambil mengangguk.
“Kembali ke lab, yuk?” Ajak
perempuan tadi.
“Yuk.” Perempuan yang tadinya
kukira melambai kepadaku pergi, tangannya diamit perempuan yang tadi
menabrakku.
Aku kecewa. Beribu pertanyaan menumpuk
di pikiranku.
***
“Senja.. Darimana saja kamu? Kamu tahu ini
masih jam pelajaran saya!” Tuding ibu Rini, guru mata pelajaran biologi kami.
“Maap bu, saya..” ucapku terbata
“Mata kamu kenapa, Senja?” Tanya
beliau, wajahnya terlihat khawatir.
Aku terdiam beberapa jenak. Semua
anak memandang hampa ke arahku.
“Ibu Rini! Wajar saja, bu. Usianya
kan hampir menginjak masa senja, so don’t worry about it.” Cowok itu terkekeh,
seolah-olah ada sesuatu yang lucu dari perkataannya yang terdengar datar. “Aneh
ya, nama kok Senja? Kenapa nggak magrib aja sekalian. Benar nggak,
teman-teman?” Semua tertawa, kecuali ibu Rini. Saat ini kau bisa tersenyum puas. Tapi nanti.. aku membatin kesal.
Mengapa aku terlalu lemah? Apa aku
ditakdirkan memang seperti ini? Ah, aku jadi ingin pulang. Aku ingin waktu
berjalan lebih cepat seperti jet coaster.
Motifku hanya satu, yaitu bertemu senja, membiarkan segurat garis itu menyapaku
hangat, lalu dia seakan membiarkanku mengurai semua luka ini.
“Maap bu, tadi mata saya kemasukan
debu.” Aku mencoba menjawab pertanyaan bu Rini setenang mungkin. Tentu saja itu
salah satu kebohonganku.
“Baiklah, silahkan duduk.” Kata bu
Rini.
Dengan langkah gontai aku menuju
tempat dudukku. Aku menatap Zian yang saat itu menempati kursiku. Ini tempatku! Tempatmu bukan disini, mungkin
kata itulah yang ingin aku ucapkan. Tapi apa yang terjadi, aku hanya diam,
membiarkan Zian beranjak pergi sambil mendorongku kasar. Arrgh.. Ini sudah sangat keterlaluan! Aku langsung bangkit,
tanganku mengepal melayangkan tinju di udara, dan.. tinjuku tepat mengenai pipi
kiri Zian. Sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah juga lebam biru yang
tercetak samar di pipinya.
Untuk kesekian kalinya aku diam.
Setelah puas meluapkan kekesalan yang sebenarnya terjadi secara spontan tersebut,
aku memilih duduk. Rasanya aneh. Semua menatapku. Aku tidak mengerti,
seharusnya ibu Rini langsung membawa Zian untuk diobati tapi yang kulihat
beliau hanya duduk tenang sambil sibuk dengan bacaannya. Beliau hanya diam,
seperti diamnya aku.
Bel istirahat terdengar..
“Senja..”
Aku
mengerutkan kening. Barusan ada yang memanggilku, aku langsung mnoleh mencari
sumber suara. “Iya.”
“Kau hebat,
ya.”
“Kau
terlalu berlebihan.”
“Selama ini
siapa sih yang bisa membungkam mulut Zian? Aku baru kali ini melihatnya
meringis kesakitan seperti itu.” Perempuan di sebelahku masih terus bicara.
“Itu hebat,
ya? Jangan jadi panutan. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja tanganku langsung
spontan bertindak.” Ujarku. Aku masih menyembunyikan perasaan takut akan kejadian
hal tadi.
“Yang
barusan aku katakan tadi..” Perempuan itu berdiri. “Itu sebuah pujian, jadi
terimalah.” Dia berlalu meninggalkanku keluar kelas.
“Terima
Kasih” Sahutku samar.
“Oh ya.”
Perempuan itu berhenti didepan pintu kelas. “Kalau aku tidak salah dengar, kamu
tadi dipanggil ibu Rini keruangannya.”
Kuharap ini semua hanya mimpi,
setidaknya segera berakhir.
***
Setelah
kejadian itu, semuanya semakin bertambah buruk. Tidak ada bisikan lirih lagi
ketika aku lewat di koridor sekolah, tidak ada hinaan, tidak ada tawa, tidak
ada bicara, tidak ada aksi mendorongku hingga terjatuh. Bukankah itu semakin
baik? Ternyata tidak. Semua orang malah semakin menjauh dariku. Mungkin saja
itu mereka lakukan karena sikap ibu Rini tempo hari atau mereka berbalik takut
kepadaku.
“Senja, Dengan berat hati mau tidak
mau ibu harus meluluskan permintaan pihak yayasan untuk men-skors kamu selama
seminggu.” Ibu Rini menyerahkan surat peringatan kepadaku.
Aku diam. Mungkin terlalu diam
hanya untuk menutupi kekecewaanku.
“Setidaknya kamu tidak dikeluarkan
dari sekolah ini. Bersyukurlah.” Ibu Rini mencondongkan wajahnya. Mungkin
beliau tahu apa yang kurasakan.
Saat itulah aku mengetahui kalau
Zian adalah anak pemilik yayasan di sekolahku. Mungkin karena permintaan dia
jugalah aku di skorsing selama
seminggu. Seharusnya, jika aku di keluarkan dari sekolah, saat ini mungkin aku
sudah berada di desa.
Aku mengambil jaket lalu bergegas
keluar kamar. Aku tidak mau meratapi nasib ini lebih lama. Aku harus bangkit.
Dan yang aku butuhkan sekarang adalah sebuah motivasi. Aku tahu tidak mungkin
mendapatkan motivasi disini, dikamarku. Aku memutuskan untuk pergi ke toko buku
di samping jalan besar komplek.
Toko buku itu sudah tidak terlalu
ramai. Awalnya aku terkejut ketika masuk kedalam, sebelah rak buku Best Seller, aku disambut replika patung
kuntilanak sebesar manusia. Maklumlah, namanya juga orang yang lahir di desa
dan sudah akrab hidup dengan cerita-cerita mistis yang tidak pernah di buktikan
kebenarannya. Aku menikmati pajangan buku-buku di etalase. Tiba-tiba saja ada
yang terlintas dikepalaku. Aku ingin novelku di pajang disitu, di sudut etalase
buku best seller! Mungkin itu semata
hanya karena keegoisanku saja. Sudah lupakanlah. Ingat tujuan awal pergi kesini.
Ketika hendak beranjak dari etalase
tersebut dan ingin melihat ke rak yang lain, sesorang yang tidak asing bagiku
sudah berada tepat di sampingku.
“Zian!” aku terpekik. Zian hanya
menatapku diam tanpa ekspresi.
“Kenapa sudah selarut ini kamu
masih di sini?” Tanyanya.
Aku mendengus. “Pertanyaan macam
apa itu?” Jawabku retoris. “Satu-satunya tujuan orang yang pergi ke toko buku,
pasti ingin mencari buku, paling tidak hanya sekedar melihat-lihat buku saja.” Kataku
kemudian.
“Oh” dia mengangguk lalu meletakkan
sebuah komik kembali ke raknya. “Baiklah. Kemana kita?” Tanyanya.
“Eh..” Sebelum sempat aku menjawab
dia sudah menyeretku keluar.
“Temani aku makan, ya?” Kata Zian
pada akhirnya. Dia melepaskanku ketika kami sudah berada di depan warung tenda.
“Di sini?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya. Kenapa?”
“Bukan kamu banget.” Ujarku.
“Kupikir..” Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, Zian sudah masuk ke dalam
meninggalkanku. Mau tidak mau akhirnya aku ikut masuk. Setelah memesan makanan,
Zian tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Termasuk aku. Kami berdua dalam diam.
“Senja..”
Aku menoleh, sebenarnya masih ada
rasa penasaran berkecamuk dalam hati.
“Aku mau minta maap atas kejadian
tempo hari.” Akunya. Wajahnya tertunduk. Suasana hening. Aku tidak tahu harus
menjawab apa. Hingga akhirnya pesanan kami datang.
Aku melahap mie gorengku dengan
cepat. Mungkin karena seharian perutku belum di isi beginilah jadinya. Setelah
selesai makan, aku menyeruput teh hangatku.
“Seharusnya aku yang minta maap.”
Ujarku tanpa basa-basi. Kulihat Zian meletakkan sendoknya (dia hampir saja
menyuapkan nasi goreng ke mulutnya). Dia tersenyum lalu kembali sibuk dengan
nasi gorengnya.
“Bukannya kemarin itu aku yang
memukulmu? So’ I must apologize with you.” Aku memandangnya. “Tapi beneran, itu
semua terjadi di luar kesadaranku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa bisa
seperti itu.”
Aku menarik napas. Lalu
melanjutkannya lagi. “Tapi yang masih aku bingung..”
“Kau tahu? Aku sangat membenci
keluargaku.” Dia memotong ucapanku. Kebiasaan!
“Maksudnya?”
“Mereka yang meminta supaya kamu di
keluarkan dari sekolah.” Aku sedikit terkejut dengan ucapan Zian. “Akhirnya,
aku mengancam mereka dengan cara yang sama.” Aku semakin bertambah bingung.
“Kalau kamu di keluarkan. Maka aku akan pergi ke Seoul. Lebih tepatnya, kabur
dari rumah.”
Ada jeda di antara kami.
“Keluargaku itu orang yang selalu
mau tahu urusanku. Memilihkan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak pernah
ku suka, memaksaku untuk mengikuti keinginan mereka. Aku tersiksa kalau di
perlakukan seperti itu terus-menerus, Nja.” Lanjutnya. “Aku terkadang ingin
bebas, seperti remaja biasa. Menghabiskan masa SMA nya dengan suka cita dan
hidup di penuhi tawa gembira. Tapi semuanya seperti tidak pernah ada karena
keluargaku.” Lho? Kenapa jadi Zian yang
curhat?
Aku masih memperhatikan.
“Seandainya aku jauh dari keluarga, mungkin itu akan lebih baik.”
“Benarkah? Apa dengan jauh dari
keluarga, semuanya akan membaik?” Aku terlanjur bertanya, sebenarnya masih ada
keinginan untuk mendengarkan ceritanya.
“Menurutku, iya. Mungkin sangat
baik dari sekarang.” Jawabnya.
“Setidaknya keluargamu masih utuh,
Yan.” Zian menatapku, mungkin agak terkejut atas ucapanku. “Bersyukurlah kamu
masih mempunyai keluarga yang selalu memperhatikan kamu dimanapun, kapanpun,
dan bagaimanapun. Apa kamu tidak pernah melihat orang yang lebih menderita
daripada kamu?”
Zian mengangkat bahu.
“Banyak orang di luar sana yang
sebenarnya sangat membutuhkan keluarga, tapi sayangnya, takdir menentukan dia
tidak pernah bertemu keluarganya, apalagi orang tuanya. Mereka menderita.
Mungkin juga rindu dan rasa penasaran akan keluarganyalah yang membuat mereka
rapuh. Mereka merasa di dunia ini mereka diperlakukan secara tidak adil.
Padahal.. disisi lain sangat banyak orang yang membuang arti keluarga
sebenarnya, salah satunya kamu. Banyak sekali orang yang selalu merasa ingin
jauh dari keluarga hanya karena alasan tidak bebas dan orang itu ingin bebas
sebebas-bebasnya.” Aku mengatur napasku.
“Secara logikanya, mereka hanya
melihat sesuatu di satu sisi tanpa pernah melihat di sisi yang lainnya. Mungkin
saja kamu berpikir, keluarga itu menyebalkan dan lain-lain. Tapi bisa saja di
mata anak penghuni panti asuhan mereka mereka sangat membutuhkan status. Status
keluarga yang jelas.” Aku berhenti, lalu menyeruput teh ku yang saat ini sudah
dingin.
“Bukankah kamu tahu kalau manusia
itu kodratnya adalah makhluk sosial? Saling membutuhkan satu sama lain, kan?”
Tanyaku retoris. Aku mengakhiri argumentasiku. Kami berdua hanya diam. Tidak
ada yang memulai untuk berbicara.
Saat hendak pulang, di persimpangan
komplek Zian menyerahkan jaketnya kepadaku.
“Pakailah. Malam ini dingin
sekali.” Aku hanya mengangguk sambil menyambut jaket tersebut.
“Oya, Zian.” Aku berbalik
memanggilnya. “Seluruh dunia bisa menyerah dan pergi, namun tidak dengan
keluargamu.” Setelah itu dengan langkah seribu aku meninggalkannya mematung di
depan komplek. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
***
Setelah
kejadian itu, kami resmi bersahabat. Mungkin semuanya terasa begitu cepat,
melaju bak jet coaster, tapi seperti
itulah kenyataanya. Dia selalu meminta bantuanku mengenai keluarganya, begitu
juga aku. Akhirnya, aku menceritakan kebiasaanku, keinginanku, eksplorasiku,
juga keegoisanku padanya. Kupikir aku hanya akan menyimpannya di senjaku, juga
di hatiku. Tapi sekarang juga di hati Zian bahkan kehidupannya.
“Kenapa
kamu tidak pernah menuliskan ide-ide mu itu, Nja?” Tanya Zian. Dia sedang
menikmati matahari terbenam di atap samping balkon kamarku.
“Terlalu
kecewa untuk menulis lagi, Yan.” Jawabku. Aku duduk disebelahnya sambil bersila
menghadap cahaya keemasan diujung langit.
“Kenapa?”
“Karena
tulisanku pernah di tolak.” Jawabku lirih. “Aku jadi merasa tidak berbakat.”
“Berapa
kali tulisanmu ditolak? Enam? Tujuh, delapan, atau mungkin sepuluh?” Tanyanya
beruntun. Aku tidak pernah paham apa yang dipikirkannya.
“Tidak
lebih dari dua.” Jawabku singkat.
Kulihat
Zian hanya tersenyum sambil menggeleng. “Pengalaman yang tidak menyakitkan itu
tidak ada artinya, Nja.” Dia mengucapkan kalimat yang tidak asing di telingaku.
“Karena jika belum melalui pengorbanan, dia tidak akan ingat.”
“Dari
komik, bukan?” Tudingku.
“Yang
penting adalah keyakinan.” Katanya lagi. “Kalau kamu yakin bisa, Insyaallah
kamu pasti bisa! Bukankah menulis itu salah satu cara menuju impianmu? Baru
juga di tolak dua kali sudah patah semangat sih, Nja. Orang yang di tolak enam
kali aja bisa bangkit.” Dia meyakinkanku. Aku sedikit terpukau dengan
ucapannya.
“Kenapa
kamu jadi dalam seperti ini sih?” Tanyaku penasaran.
“Mungkin
karena aku merasa waktuku tidak banyak. Jadi aku ingin menghabiskannya dengan
menjadi sepertimu.” Jawab Zian.
“Waktu
apaan, sih? Nggak jelas banget kamu nih, Yan. Oh, jadi sekarang kamu baca
buku.” Aku manggut-manggut.
“Sshht.
Senja lagi diputar.” Jarinya menyentuh jariku. Kami berdua terdiam dalam
kesenjaan.
***
Seminggu setelah kejadian di atas atap samping
balkon kamarku, Zian tidak masuk ke sekolah. Aku sempat menanyakan hal itu pada
bu Rini, tetapi hasilnya percuma. Beliau juga tidak tahu-menahu mengenai Zian.
Pernah juga kucoba menghubungi ke ponselnya, tapi tidak pernah ada jawaban.
Dari situ aku mulai khawatir.
Kekhawatiranku terbukti. Sepulang
sekolah aku menemukan sebuket bunga matahari beserta amplop berwarna biru muda
dibalkon kamarku. Aku yakin itu bukan dari Intan, sebab Intan tidak pernah
mengirimkanku bunga dalam bentuk buket, ia selalu mengirimkanku setangkai itu pun
di tanggal yang sama setiap bulannya. Dan hari ini bukan tanggal tersebut.
Untuk
sahabatku, Senja.
18:15
Mungkin saat kamu menerima surat ini, kamu sedang menikmati hangatnya matahari
terbenam. Dan mungkin, saat kamu membaca surat ini aku sudah tidak lagi berada
di dunia. Sekarang aku mengerti, ternyata keluarga memang sangat berarti
untukku. Mereka menjagaku, merawatku hingga aku luput menyadarinya.
Aku
di vonis dokter terkena kanker otak stadium empat sebulan yang lalu dan
ternyata orang tuaku menyembunyikan semuanya dengan baik. Vonis itu seolah-olah
membuatku jatuh, dan serasa ingin menjauh bahkan tidak dilahirkan di dunia ini.
Tapi kehadiranmu, mengobati lukaku. Menyembuhkan sayapku yang dulu patah dan
tertinggal jauh di masa lalu. Aku tersenyum, seakan-akan aku begitu kuat. Tapi
sebenarnya, aku lemah. Tanpa kusadar kalau kedatanganmu menempati ruang kosong
di sudut kecil hatiku. Aku mencintaimu, sama seperti aku menyukai senja. Senja
di hatimu juga senja di hatiku. Aku mencintaimu, sama seperti kamu mengagumi
senja, sama seperti aku mengagumi dirimu.
Titip
senjaku. It always in my heart and my life.
Terima kasih telah menjadi
orang yang berarti di akhir hidupku.
Zian
“And at the end of the day, remember the days, when
we were close to the end.”
► "Being myself a guideline to achieve something that I thought was beyond my limits"
► "Always wanted to be the best anytime, anywhere"
♫ "Peu importe l'intimidateur moi, vous parlez, j'ai acheté. Je suis gronder, vous laver avec une réalisation sourire"♪♫