Hallo..
Awalnya aku emang udah lama mau posting ini cerpen, tapi yah aku harus bilang apa? Aku bukan tuhan yang bisa menepati janjiku dengan mudah :p [Aiih, sok banget gua]. So' jangan ngebahas sesuatu yg gk terlalu penting dulu deh--siapa juga yg mau bahas--soalnya aku mau nyeritain kenapa nih cerpen jadi kutulis..
Tau 'Falling In Love'? Pasti tau kan.. Pernah ngerasain? :D Pasti pada pernah ya..
Hah? Jangan bilang ke aku kalau kalian gk pernah jatuh cinta! *nutup muka pake tangan* Tragiss.. Ternyata bukan aku aja yang nggak pernah :p Sebenarnya, someone spesial telah nyangkut di hatiku kala itu, bikin aku adem ayem aja kalo liat dia :D [ Ayo bilang: ECIYEEE.. ] hehe *garukgarukkepala* Bakalan ketawa sendiri deh kalo ingat masa masa itu. Nah, entah kenapa, mungkin bawaan dr hati yang berkembang-kembang [bahasa nyasar] jadinya aku nulis ini. Jadi, bisa kusimpulkan isi cerpen ini hampir seratus persen kisah nyata. Terharu juga sih :') Ini kuselesain dalam satu malam loh [nikmat Allah yg mana lg dpt kudustakan: Allhamdulillah] dan aku berharap bakal ada koran lokal yang memuatnya. But, who am i? Lagi-lagi aku bukan tuhan yang bisa nepati janjiku dengan mudahnyaa [ <---alasantipis ] :p Aku males buat ngirim dengan prosedur pengiriman yang bikin otakku hampir hengkang dari tempatnya [hahahalaay:p], jadinya dengan ogah-ogahan akhirnya kukirim juga nih cerpen. Dan tau apa yang terjadi???? Aku lupa melampirkan scan rek bank! Oh my god! Muncul lah setan malasku, sampai sekarang ini cerpenku masih dalam status 'ditangguhkan' untuk kukirim:) 'Cause, kalau kupikir-pikir dan kubaca lagi berulang-ulang, ini cerpen kurang bagus. Makanya aku posting biar kalian baca karyaku yang kutulis ketika lagi jatuh cinta^^ dan harus aku katakan dengan sangat...
Aku butuh komennya guys..!!
[tanda seru tanda seru tanda seru]
♥♥♥
BILA
Oleh: Rahmada Devi
Seumur hidup, tak pernah ada satu orang pun yang memanggilku dengan
sebutan ‘Bila’. Biar kuingat lagi. Mungkin memang ada, tapi rasanya sudah
sangat lama. Hampir saja aku membuang nama itu. Terlalu menyakitkan untuk
mengingatnya kembali. Membayangkannya saja sudah bisa membuatku meneteskan
airmata.
Kata orang, sekarang mataku begitu jernih. Mungkin karena dulu aku sering
menangis. Jangan pernah menganggapku cengeng! Aku hanya tak ingin menahan
sesal. Merundung duka berlama-lama terlalu menyakitkan. Hanya dengan menangis
semua duka itu terbayarkan. Benarlah kata para pujangga, cinta itu buta.
“Jahatnya kamu, Nabil.” Wajahnya cemberut, seraya melirikku sejenak. Aku
tahu apa maksudnya.
“Kenapa?” Mataku masih lurus. Di
tempat seperti ini, terlalu sulit berbagi pandang dengannya.
“Karena kamu telah memenjarakanku di
hatimu.” Ia memaksaku untuk menatapnya, menyelam begitu dalam mata indah itu.
Sejenak aku tertawa, “Itu jahat ya?”
“Ish, itu jambu, Nab!” Lelaki
disampingku itu bergumam, kali ini wajahnya benar-benar cemberut.
“Jambu? Apaan? Janjimu busuk?” Aku
terkekeh, tak sanggup lagi menahan kelucuan yang terjadi saat itu. Lelaki di
sampingku hanya diam. Mungkin sedang memikirkan kata-kata yang baru meluncur
dari mulutnya.
Setelah aku menuntaskan tawaku,
barulah ia tertawa. “Jadi, jambu itu…” Ia buru-buru membekap mulutnya. Tubuhnya
sedikit terguncang menahan tawanya sendiri.
“Iya. Baru tau? Itu namanya bukan
jambu, tapi gombal.” Ia hanya mengangguk setelah kujelaskan.
Saku seragamku bergetar. Buru-buru
kuambil ponsel yang terselip di sana. Sebuah sms dari nomor tak dikenal. Pikiranku
langsung menuju pada kedua sahabatku, mereka memang sering berganti nomor
handphone tanpa sepengatahuanku.
Bila…
Singkat. Isi sms itu begitu mengejutkan.
Seperti ada sesuatu yang telah lama tersimpan namun baru saja dimuntahkan dari
otakku. Sejenak aku terdiam. Waktu seakan berhenti. Lalu, membiarkanku mengurai
kembali bergores-gores luka.
Langit mulai meneteskan hujan.
Mendesahkan angin lembut. Membuat jilbabku berkibar dalam suasananya. Biar
kuingat, ini bulan Januari. Walau musim tak pernah bisa tertebak, Januari masih
meninggalkan jejak itu. Jejak basah. Kala Januari menambatkan hujan di hatiku.
Katanya, “Walau hujan bisa meluapkan sungai, lalu menjadikannya lautan,
mungkin aku lah orang yang benar-benar beruntung.”
“Kenapa?” Tanyaku. Bodohnya aku kala itu, tak memperhatikan ekspresinya. Aku
terlalu asyik dengan novel di hadapanku.
“Karena, mungkin hanya aku yang dapat berlayar menuju dermaga hatimu.”
Hening. Ia menatapku dalam. Seulas senyum tersampir. Ia mengetuk-ngetuk
meja. Tak pernah kupahami apa isi otaknya, aku hanya tahu dia telah mengambil
beberapa detik nafasku saat itu. Kami bungkam. Aku bungkam. Berbayang-bayang
getar tercipta, di antara kami.
Itu kali pertama kesadaranku tertelan. Aku telah kalah telak. Hanya
karena sebuah hayalan bertabur imaji, untuk kali kedua aku terjatuh. Jatuh
dalam palung hatinya. Rasaku seakan membeku. Membiarkan semuanya luruh dalam
beribu kata janji.
Tiap episode yang dialami memang sulit terlukiskan. Bagai dibuai asmara,
larut dalam suasana tak berupa.
“Berbicara masalah cinta, kala itu
kau dan aku hanya sepasang kasih biasa dengan cinta yang sederhana.”
Terlalu sulit memaknai keadaan. Jika dihitung, telah ribuan kali aku luluh
karna lisannya.
Tiap hari sehelai kertas hijau ia selipkan di buku tulisku. Isinya hanya
kata-kata atau sebaris puisi buatannya. Terkadang aku hanya tersenyum sendiri
membaca kertas-kertas itu. Lalu, mengumpulkannya dalam sebuah kotak kado kecil.
Suatu saat aku akan menggelar kertas-kertas hijau itu di hadapannya. Membisikinya
pelan tentang berbait-bait puisi yang telah ia gores di hatiku selama setahun
lebih. Lalu, menikmati senja bersama, aku tahu ia menyukai senja dan kurasa aku
pun tak jauh berbeda dengannya.
Aku ingat. Ketika ia menggodaku di depan kelas sepulang sekolah, dengan
sebuah novel bersampul bidadari. Tepat di tanggal itu, 28 Desember, kau
menghadiahkannya padaku. “Aku tahu ini bukan hari ulang tahunmu.” Bisiknya. Ia
menggenggam tanganku erat untuk kali pertama. Aku tak banyak bertanya. Terlalu
tabu untuk menanyakan alasannya saat itu.
Dan aku tahu, cepat atau lambat aku akan tahu alasannya. Seperti hujan
bulan Januari kala itu. Seperti yang sudah-sudah, malam tahun baru identik
dengan kembang api. Kami memutuskan merayakannya. Hanya sesuatu yang sederhana.
Sebelum ia menyalakan kembang api terakhir yang kami punya, ia berkata
padaku “Bila.. Apa yang kamu pinta untuk tahun depan?”
“Aku mau kita selalu bersama.” Bisikku.
“Baiklah, ucapkan sekali lagi ya…” Pintanya. Lalu, ia menyulutkan api.
Aku kemudian menutup mataku seraya berdoa tentang kami, tentang seuntai kasih
yang saling tersemat di antara kami.
Ketika kubuka mataku, kembang api meluncur lalu pecah di udara. Begitu indah.
Sangat indah untuk sebuah perpisahan Januari kala itu.
Selepas Januari. Ketika itu ayahnya
memutuskan melanjutkan program sastra Inggris. Ia memilih pergi ke negeri
kangguru jauh melewati perbatasan paling timur Indonesia. Bagaimana pun, ia
hanya punya ayah. Tak cukup alasan untuk mengelak. Ia pun melanjutkan
sekolahnya di sana. Keputusan yang terlalu sulit untuknya, terlebih untukku.
Kau tahu kenapa? Sebab kehilangan orang kita sayang tak jauh beda dengan
merelakannya pergi bersama orang lain. Menyakitkan. Saat itu juga aku merasakan
kehilangan untuk pertama kalinya.
“Nabil! Ngapain di sini? Mau hujan nih! Ayo masuk.” Lelaki itu menarik
tanganku, aku hanya menurut.
Kubiarkan sms itu. Walau aku tahu, tak pernah ada satu orang pun yang
memanggilku ‘Bila’, selain… ‘bulan senja’. Sudah setahun lebih kenangan itu
sirna. Benar kata orang, waktu bisa mengubah segalanya. Bahkan aku tak ingat di
mana aku menyimpan kotak kado kecil berisi kertas-kertas hijau kala aku
bersamanya. Novel bersampul bidadari itu pun sudah aku berikan pada sepupuku.
Kuharap, hanya ingatan-ingatan sederhana tentangmu saja yang menjadi kenangan
terakhirku.
Bagiku, kini tak penting lagi tentang laki-laki itu, laki-laki yang dulu
kusebut ‘bulan senja’, laki-laki yang memberiku sebuah ‘sketsa bidadari’,
laki-laki yang memanggilku ‘Bila’, juga laki-laki dalam hujan Januari setahun
silam.
Sekarang, yang terpenting hanyalah seorang kakak sekaligus kekasih yang
saat ini berada di sampingku. Aku menyayanginya, dan kupikir ia pun begitu.
“Nabilaa…”
“Iya. Ada apa, kak.”
“Dengarkan ya…”
Aku duduk manis di sampingnya. Hujan
masih meniupkan angin. Menerbangkan sudut jilbabku. Samar-samar ia membacakan
sesuatu dari buku yang dibawanya,
“Senyummu adalah sekuntum pelangi merah yang mampu redakan hujan duka
dalam hatiku, selalu ramah menyapa walau tanpa kata, selalu berkisah tentang
indahnya damai yang tak pernah usai.”
Batinku mengiyakan. Dan nama itu: Bila, hanya akan kukenang sendiri.
Mungkin terlalu sulit melupakannya. Namun, sulit bukan berarti tidak mungkin?
Aku akan mencoba. Aku bisa. Dan bagiku, tak pernah ada kata terlambat untuk
mengawalinya–sesuatu yang kusebut cinta–lagi.
Juga..Tak pernah ada kata salah untuk cinta.[]
Lorong kesunyian,
15
Januari 2012, 00.50 tengah malam
Untuk
seorang yang menginspirasi: My Teddy Bear!
Posting Komentar