Dinaskahkan oleh : Rahmada Devi
Diangkat dari sebuah cerita rakyat Kalimantan Selatan yang ditulis oleh
Bapak Yustan Aziddin.
SINOPSIS :
Alkisah disuatu
negeri hiduplah Ni Kudampai dengan anaknya; Angui. Saat Angui menyatakan ingin
pergi untuk mengadu nasib, Nini Kudamai merasakan kesepian. Begitulah hingga
akhirnya Angui pulang sebagai Bambang Patmaraga beserta istrinya. Ia pun tidak
mengakui Ni Kudampai sebagai ibunya.
***
Angui : Uma..
Ni :
Iya anakku, Angui.
Angui : Ada
yang ingin Angui bicarakan dengan uma. (Mendekati Ibunya) Angui ingin sekali
melihat uma hidup senang, tanpa harus membanting tulang demi sesuap nasi, mak.
Ni :
(Menatap Angui, menunggu kata-kata yang disamapaikan Angui) Maksudmu, nak?
Angui :
(Tertunduk dalam ) Izinkanlah Angui merantau, Uma... (lirih seperti berbisik)
Ni : (Terkejut lalu menatap Angui dengan
sedih)
Angui : Angui janji, Angui tidak akan mengecewakan
Uma. Angui berjanji akan merubah kehidupan keluarga kita, Uma.
Ni : (Berlinang airmata) Angui anakku.
Uma sedih mendengar keinginanmu. Jika tekadmu memang bulat, Uma tidak bisa
berbuat apa-apa. Sebagai orang tua Uma hanya mampu mendoakan yang terbaik
untukmu.
*
Setelah Angui berbekal tekad dan keyakinannya. Ni
Kudampai selalu berdoa demi keselamatan anak semata wayangnya itu.
Berhari-hari, seminggu, sebulan dan bertahun-tahun Ni Kudampai selalu sabar
menunggu kedatangan anaknya. Dengan cemas dan berlinang airmata, Ni Kudampai
tak henti-hentinya berdoa untuk keselamatan anaknya. Hingga ia sadari, kabar
itu tak kunjung datang.
*
Angui : (Dikapal) Dinda, untuk merayakan
keberhasilan kanda sebagai saudagar sukses, Dinda minta apa saja, dinda mau
pergi jalan-jalan kemana saja, pasti akan kanda kabulkan.
Istri : Sungguhkah itu kanda Bambang Patmaraga?
Angui : Tentu saja. Ucapkanlah, istriku!
Istri : Dinda ingin sekali pergi ke negeri
seberang di ujung sana, kada. Menurut orang-orang, pantai di sana sangatlah
indah.
Angui
: (Terkejut)
Istri : Mengapa kanda?
Angui : Mm, tidak apa. Baiklah, kita akan segera
berlayar ke sana.
*
Kabar
kedatangan Angui langsung tersebar dengan cepat, hingga sampai di telinga Nini
Kudampai. Mendengar hal tersebut Nini Kudampai berlari menuju dermaga dengan tertatih serta rasa
bahagia yang meluap-luap.
Ni : (mengahmpiri lalu memeluk Angui)
Angui anakku... Mengapa kamu baru pulang sekarang, nak? Ini emak, nak.
Angui : (menatap dengan bingung. Ia ingin sekali
memeluk ibunya namun ia merasa malu jika mengakui wanita itu sebagai ibunya)
Siapa kau hei perempuan tua?! Aku bukan
Angui! Namaku Bambang Patmaraga!
Ni
: (terkejut) kau lupa dengaku
Angui? Aku ibumu. Aku emakmu, Angui. Aku wanita yang melahirkanmu. (Bertetesan
airmata) Ini buktinya, ini ikat kepala kesayanganmu yang kau titipkan pada ibu,
nak..
Angui : Tidak. Itu hanya kain rombeng! Aku tak
pernah memiliki itu.
Istri : benarkah ia ibumu, kanda? (menatap
Angui dengan takut)
Angui
: tenang, dinda. Mungkin anda salah
orang, aku bukan anakmu. Ibuku telah lama meninggal ketika aku masih kecil.
Sudahlah, sebaiknya kau tidak perlu mengiba-iba seperti itu kepadaku, hei
perempuan.
Ni
: tidak mungkin. Aku tidak
mungkin salah. Aku sangat ingat dengan wajah anakku. Kau Angui! Kau Angui
anakku! Tidakkah kau merasa kasihan dengan emakmu ini, nak? Mengapa kau malu
mengakui ibumu sendiri, nak? (menangis)
Angui : Hei perempuan! Harus berapa kali kukatakan, orang tuaku
telah lama tiada! (mendorong emaknya)
Istri : Kanda...
Angui : Sebaiknya kita pergi dari tempat ini,
dinda.
Istri : Kanda, jika ia memang ibumu, akuilah.
Angui : Dia bukan ibuku! (menaiki kapal, pergi
meninggalkan pantai)
Ni : (menangis tersedu-sedu) kau bagai
kacang lupa dengan kulitnya! Hatimu sekeras batu, Angui!
Sementara
itu, di tepi pantai, Ni Kudampai menangis melihat kenyataan yag terjadi.
Mulutnya bergerak seperti merapalkan mantra. Angin kencang tiba-tiba berhembus,
langit menghitam, guntur bersahut-sahutan, ombak pun bergulung-gulung memecah
kacah. Kapal Angui pun menabrak karang kemudian terbelah menjadi dua bagian.
Kapal dan awaknya pun seketika berubah menjadi batu.
Angui : Uma... Uma... Umaa
THE END
Posting Komentar