Epilog Senja


Jalanan  semakin sunyi. Tidak ada lagi suara menderu kendaraan, kayuh sepeda ontel, serta tawa bocah-bocah kecil yang selalu menyapanya sepulang sekolah. Jembatan desa yang sering ia jadikan berpijak untuk melihat sketsa senja, bisu tak bertuan. Hening. Menghitung waktu yang semakin melambat. Inilah saatnya lukisan itu diputar. Lembayung senja semakin jelas terbias, menampakkan jingga yang menawan. Dia bisa merasakan hangatnya sang surya. Lamban-lamban ia mendengar angin membisik membelai lembut kulitnya. Dalam kebisuan sukmanya terpana.
Gadis itu menyukai senja, cahaya keemasan yang hilang dibatas kota. Setiap ada masalah, dia selalu berlari menuju jembatan lalu menatap lekat-lekat sisa keperkasaan mentari. Cahaya itu menghilang perlahan, digantikan sinar keperakan yang menyapuh genting permukiman penduduk di sisi jembatan. Dia menyukai senja, bukan karena cahayanya yang terlihat indah. Melainkan setiap kali dia melarikan masalah yang memagut dan mencekamnya hingga sulit bernafas, di tepian jembatan itulah dia merasa damai. Sedamai bukit di pedesaan hijau, sedamai langit biru.
***
            Usiaku menapak lagi, tepat dihari ini seseorang mengirimkanku setangkai bunga beserta surat beramplop biru langit. Ah, matahari lagi, gumamku lirih seraya membaui bunga itu.

            Matahari untuk sahabatku,
            Mencairkan suasana murung,
            Meredam sedikit luka terbungkam.
            Matahari untuk sahabatku,
            Biarkan semerbaknya mewangi,
            Seperti harum kesturi,
            Ketika umurmu telah mendaki.
                 Happy Anniversary!
                                                            Intan

            Aku tersenyum. Entah sejak kapan Intan memutuskan menulis puisi di usianya yang sangat dini. Aku bahkan tak ingat persis berapa angka yang mewakili kata dini tersebut.
            Aku harus melanjutkan sekolahku di kota. Aku kini tinggal di sebuah rumah kos putri tidak jauh dari sekolah. Rumah itu hanya dihuni empat orang, yaitu aku dan dua orang mahasiswa, lalu sisanya nyonya rumah itu sendiri yang sudah setahun menjanda ditinggal suaminya yang menikah lagi. “Hidup dikota tidak sama seperti dikampung.” Ujarnya. Matanya tergenang bulir bening namun beliau berusaha menutupinya dengan sedikit bercanda. Aku tak bisa bilang selera humor nyonya itu bagus, namun aku selalu tertawa dibuatnya. Berbeda dengan dua orang mahasiswa disebelah kamarku. Mereka lebih sering menghabiskan waktu diluar. Sangat jarang aku melihat mereka berada dirumah.
Intan sesekali mengirimkanku surat. Kebanyakan isinya puisi lalu sisanya hanya cerita yang menurutku selalu menarik. Aku tidak pernah membalasnya. Hanya kubiarkan teronggok di laci meja belajar. Intan sendiri tidak pernah protes akan hal itu.
            Di sekolahku yang baru, aku hanya sendiri. Entah mengapa semua orang lebih sering menjauh. Tak jarang mereka berbisik lirih ketika aku  lewat di koridor sekolah, melirikku dengan tatapan entah itu kebencian atau kekesalan.
            Aku masih bisa tersenyum saat itu. Setiap pulang sekolah, sehabis sholat ashar, tempat yang pertama kali aku datangi adalah atap di samping balkon kamarku. Duduk menunggu senja tiba sambil sesekali bersenandung lirih itu yang selalu kulakukan. Semua yang terjadi aku ceritakan pada segurat cahaya emas diujung langit. Tak ada keluh kesah, hanyar sekedar cerita sederhana seorang gadis malang sepertiku. Senja itu selalu bisa membuatku damai, tak pernah terpintas olehku untuk menyimpan dendam pada semua orang itu. Seperti itulah senjaku, senja yang selalu aku banggakan dan selalu aku simpan dalam-dalam di lubuk hati agar tak ada orang yang mengambilnya.
            Enam bulan bersekolah dikota bukan hal yang mudah. Semuanya kujalani penuh kesabaran. Beruntung sekali aku selalu bisa bersama senja. Menatapnya lekat-lekat tanpa takut malu dilihat orang seperti saat aku berada ditepi jembatan desa. Menghabiskan petang yang singkat itu dengan semua cerita-ceritaku. Semuanya terasa begitu menyenangkan, tapi tidak saat aku berada disekolah. Cerita yang sama seperti diputar ulang setiap pagi hingga matahari memuncak. Terkadang aku bosan, lalu berharap semoga senja segera tiba.
Hingga suatu ketika, untuk pertama kalinya aku membolos karena aku sudah tidak tahan berada dikelas, melihat orang-orang yang selalu mengoceh tiada henti, juga mereka yang selalu berbisik lirih tentangku. Tujuanku saat itu adalah mushola sekolah. Dalam benakku, mungkin saja orang-orang di mushola itu lebih berbaik hati untuk berbincang atau hanya sekedar bertegur sapa denganku. Hal itu sudah sangat cukup untuk melegakan sedikit batinku yang tersiksa.
Aku harap begitu. Apa yang kutemui sungguh sangat mengejutkan. Tepat seperti dugaanku, seorang perempuan tersenyum sambil melambaikan tangannya di depan pintu mushola. Aku membalas senyumannya dengan suka cita. Entahlah, perasaan bahagia tiba-tiba meluap memenuhi rongga dada. Sudah satu semester lebih aku bersekolah disini dan baru sekarang ada orang yang mau melambaikan tangannya untukku, bahkan tersenyum.  Tiba-tiba saja seseorang menabrakku dari belakang lalu menghampiri perempuan yang melambaikan tangan tadi.
“Hai, Bunga. Sudah selesai sholat, kan?” Tanya perempuan yang menabrakku tadi. Oh, jadi namanya Bunga, sahutku dalam hati.
“Yup.” Jawab perempuan yang dipanggil Bunga itu sambil mengangguk.
“Kembali ke lab, yuk?” Ajak perempuan tadi.
“Yuk.” Perempuan yang tadinya kukira melambai kepadaku pergi, tangannya diamit perempuan yang tadi menabrakku.
Aku kecewa. Beribu pertanyaan menumpuk di pikiranku.
***
 “Senja.. Darimana saja kamu? Kamu tahu ini masih jam pelajaran saya!” Tuding ibu Rini, guru mata pelajaran biologi kami.
“Maap bu, saya..” ucapku terbata
“Mata kamu kenapa, Senja?” Tanya beliau, wajahnya terlihat khawatir.
Aku terdiam beberapa jenak. Semua anak memandang hampa ke arahku.
“Ibu Rini! Wajar saja, bu. Usianya kan hampir menginjak masa senja, so don’t worry about it.” Cowok itu terkekeh, seolah-olah ada sesuatu yang lucu dari perkataannya yang terdengar datar. “Aneh ya, nama kok Senja? Kenapa nggak magrib aja sekalian. Benar nggak, teman-teman?” Semua tertawa, kecuali ibu Rini. Saat ini kau bisa tersenyum puas. Tapi nanti.. aku membatin kesal.
Mengapa aku terlalu lemah? Apa aku ditakdirkan memang seperti ini? Ah, aku jadi ingin pulang. Aku ingin waktu berjalan lebih cepat seperti jet coaster. Motifku hanya satu, yaitu bertemu senja, membiarkan segurat garis itu menyapaku hangat, lalu dia seakan membiarkanku mengurai semua luka ini.
“Maap bu, tadi mata saya kemasukan debu.” Aku mencoba menjawab pertanyaan bu Rini setenang mungkin. Tentu saja itu salah satu kebohonganku.
“Baiklah, silahkan duduk.” Kata bu Rini.
Dengan langkah gontai aku menuju tempat dudukku. Aku menatap Zian yang saat itu menempati kursiku. Ini tempatku! Tempatmu bukan disini, mungkin kata itulah yang ingin aku ucapkan. Tapi apa yang terjadi, aku hanya diam, membiarkan Zian beranjak pergi sambil mendorongku kasar. Arrgh.. Ini sudah sangat keterlaluan! Aku langsung bangkit, tanganku mengepal melayangkan tinju di udara, dan.. tinjuku tepat mengenai pipi kiri Zian. Sudut bibirnya mengeluarkan sedikit darah juga lebam biru yang tercetak samar di pipinya.
Untuk kesekian kalinya aku diam. Setelah puas meluapkan kekesalan yang sebenarnya terjadi secara spontan tersebut, aku memilih duduk. Rasanya aneh. Semua menatapku. Aku tidak mengerti, seharusnya ibu Rini langsung membawa Zian untuk diobati tapi yang kulihat beliau hanya duduk tenang sambil sibuk dengan bacaannya. Beliau hanya diam, seperti diamnya aku.
Bel istirahat terdengar..
            “Senja..”
            Aku mengerutkan kening. Barusan ada yang memanggilku, aku langsung mnoleh mencari sumber suara. “Iya.”
            “Kau hebat, ya.”
            “Kau terlalu berlebihan.”
            “Selama ini siapa sih yang bisa membungkam mulut Zian? Aku baru kali ini melihatnya meringis kesakitan seperti itu.” Perempuan di sebelahku masih terus bicara.
            “Itu hebat, ya? Jangan jadi panutan. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja tanganku langsung spontan bertindak.” Ujarku. Aku masih menyembunyikan perasaan takut akan kejadian hal tadi.
            “Yang barusan aku katakan tadi..” Perempuan itu berdiri. “Itu sebuah pujian, jadi terimalah.” Dia berlalu meninggalkanku keluar kelas.
            “Terima Kasih” Sahutku samar.
            “Oh ya.” Perempuan itu berhenti didepan pintu kelas. “Kalau aku tidak salah dengar, kamu tadi dipanggil ibu Rini keruangannya.”
            Kuharap ini semua hanya mimpi, setidaknya segera berakhir.
***
            Setelah kejadian itu, semuanya semakin bertambah buruk. Tidak ada bisikan lirih lagi ketika aku lewat di koridor sekolah, tidak ada hinaan, tidak ada tawa, tidak ada bicara, tidak ada aksi mendorongku hingga terjatuh. Bukankah itu semakin baik? Ternyata tidak. Semua orang malah semakin menjauh dariku. Mungkin saja itu mereka lakukan karena sikap ibu Rini tempo hari atau mereka berbalik takut kepadaku.
“Senja, Dengan berat hati mau tidak mau ibu harus meluluskan permintaan pihak yayasan untuk men-skors kamu selama seminggu.” Ibu Rini menyerahkan surat peringatan kepadaku.
Aku diam. Mungkin terlalu diam hanya untuk menutupi kekecewaanku.
“Setidaknya kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Bersyukurlah.” Ibu Rini mencondongkan wajahnya. Mungkin beliau tahu apa yang kurasakan.
Saat itulah aku mengetahui kalau Zian adalah anak pemilik yayasan di sekolahku. Mungkin karena permintaan dia jugalah aku di skorsing selama seminggu. Seharusnya, jika aku di keluarkan dari sekolah, saat ini mungkin aku sudah berada di desa.
Aku mengambil jaket lalu bergegas keluar kamar. Aku tidak mau meratapi nasib ini lebih lama. Aku harus bangkit. Dan yang aku butuhkan sekarang adalah sebuah motivasi. Aku tahu tidak mungkin mendapatkan motivasi disini, dikamarku. Aku memutuskan untuk pergi ke toko buku di samping jalan besar komplek.
Toko buku itu sudah tidak terlalu ramai. Awalnya aku terkejut ketika masuk kedalam, sebelah rak buku Best Seller, aku disambut replika patung kuntilanak sebesar manusia. Maklumlah, namanya juga orang yang lahir di desa dan sudah akrab hidup dengan cerita-cerita mistis yang tidak pernah di buktikan kebenarannya. Aku menikmati pajangan buku-buku di etalase. Tiba-tiba saja ada yang terlintas dikepalaku. Aku ingin novelku di pajang disitu, di sudut etalase buku best seller! Mungkin itu semata hanya karena keegoisanku saja. Sudah lupakanlah. Ingat tujuan awal pergi kesini.
Ketika hendak beranjak dari etalase tersebut dan ingin melihat ke rak yang lain, sesorang yang tidak asing bagiku sudah berada tepat di sampingku.
“Zian!” aku terpekik. Zian hanya menatapku diam tanpa ekspresi.
“Kenapa sudah selarut ini kamu masih di sini?” Tanyanya.
Aku mendengus. “Pertanyaan macam apa itu?” Jawabku retoris. “Satu-satunya tujuan orang yang pergi ke toko buku, pasti ingin mencari buku, paling tidak hanya sekedar melihat-lihat buku saja.” Kataku kemudian.
“Oh” dia mengangguk lalu meletakkan sebuah komik kembali ke raknya. “Baiklah. Kemana kita?” Tanyanya.
“Eh..” Sebelum sempat aku menjawab dia sudah menyeretku keluar.
“Temani aku makan, ya?” Kata Zian pada akhirnya. Dia melepaskanku ketika kami sudah berada di depan warung tenda.
“Di sini?” Aku mengernyitkan dahi.
“Iya. Kenapa?”
“Bukan kamu banget.” Ujarku. “Kupikir..” Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, Zian sudah masuk ke dalam meninggalkanku. Mau tidak mau akhirnya aku ikut masuk. Setelah memesan makanan, Zian tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Termasuk aku. Kami berdua dalam diam.
“Senja..”
Aku menoleh, sebenarnya masih ada rasa penasaran berkecamuk dalam hati.
“Aku mau minta maap atas kejadian tempo hari.” Akunya. Wajahnya tertunduk. Suasana hening. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Hingga akhirnya pesanan kami datang.
Aku melahap mie gorengku dengan cepat. Mungkin karena seharian perutku belum di isi beginilah jadinya. Setelah selesai makan, aku menyeruput teh hangatku.
“Seharusnya aku yang minta maap.” Ujarku tanpa basa-basi. Kulihat Zian meletakkan sendoknya (dia hampir saja menyuapkan nasi goreng ke mulutnya). Dia tersenyum lalu kembali sibuk dengan nasi gorengnya.
“Bukannya kemarin itu aku yang memukulmu? So’ I must apologize with you.” Aku memandangnya. “Tapi beneran, itu semua terjadi di luar kesadaranku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa bisa seperti itu.”
Aku menarik napas. Lalu melanjutkannya lagi. “Tapi yang masih aku bingung..”
“Kau tahu? Aku sangat membenci keluargaku.” Dia memotong ucapanku. Kebiasaan!
“Maksudnya?”
“Mereka yang meminta supaya kamu di keluarkan dari sekolah.” Aku sedikit terkejut dengan ucapan Zian. “Akhirnya, aku mengancam mereka dengan cara yang sama.” Aku semakin bertambah bingung. “Kalau kamu di keluarkan. Maka aku akan pergi ke Seoul. Lebih tepatnya, kabur dari rumah.”
Ada jeda di antara kami.
“Keluargaku itu orang yang selalu mau tahu urusanku. Memilihkan sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak pernah ku suka, memaksaku untuk mengikuti keinginan mereka. Aku tersiksa kalau di perlakukan seperti itu terus-menerus, Nja.” Lanjutnya. “Aku terkadang ingin bebas, seperti remaja biasa. Menghabiskan masa SMA nya dengan suka cita dan hidup di penuhi tawa gembira. Tapi semuanya seperti tidak pernah ada karena keluargaku.” Lho? Kenapa jadi Zian yang curhat?
Aku masih memperhatikan. “Seandainya aku jauh dari keluarga, mungkin itu akan lebih baik.”
“Benarkah? Apa dengan jauh dari keluarga, semuanya akan membaik?” Aku terlanjur bertanya, sebenarnya masih ada keinginan untuk mendengarkan ceritanya.
“Menurutku, iya. Mungkin sangat baik dari sekarang.” Jawabnya.
“Setidaknya keluargamu masih utuh, Yan.” Zian menatapku, mungkin agak terkejut atas ucapanku. “Bersyukurlah kamu masih mempunyai keluarga yang selalu memperhatikan kamu dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun. Apa kamu tidak pernah melihat orang yang lebih menderita daripada kamu?”
Zian mengangkat bahu.
“Banyak orang di luar sana yang sebenarnya sangat membutuhkan keluarga, tapi sayangnya, takdir menentukan dia tidak pernah bertemu keluarganya, apalagi orang tuanya. Mereka menderita. Mungkin juga rindu dan rasa penasaran akan keluarganyalah yang membuat mereka rapuh. Mereka merasa di dunia ini mereka diperlakukan secara tidak adil. Padahal.. disisi lain sangat banyak orang yang membuang arti keluarga sebenarnya, salah satunya kamu. Banyak sekali orang yang selalu merasa ingin jauh dari keluarga hanya karena alasan tidak bebas dan orang itu ingin bebas sebebas-bebasnya.” Aku mengatur napasku.
“Secara logikanya, mereka hanya melihat sesuatu di satu sisi tanpa pernah melihat di sisi yang lainnya. Mungkin saja kamu berpikir, keluarga itu menyebalkan dan lain-lain. Tapi bisa saja di mata anak penghuni panti asuhan mereka mereka sangat membutuhkan status. Status keluarga yang jelas.” Aku berhenti, lalu menyeruput teh ku yang saat ini sudah dingin.
“Bukankah kamu tahu kalau manusia itu kodratnya adalah makhluk sosial? Saling membutuhkan satu sama lain, kan?” Tanyaku retoris. Aku mengakhiri argumentasiku. Kami berdua hanya diam. Tidak ada yang memulai untuk berbicara.
Saat hendak pulang, di persimpangan komplek Zian menyerahkan jaketnya kepadaku.
“Pakailah. Malam ini dingin sekali.” Aku hanya mengangguk sambil menyambut jaket tersebut.
“Oya, Zian.” Aku berbalik memanggilnya. “Seluruh dunia bisa menyerah dan pergi, namun tidak dengan keluargamu.” Setelah itu dengan langkah seribu aku meninggalkannya mematung di depan komplek. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
***

            Setelah kejadian itu, kami resmi bersahabat. Mungkin semuanya terasa begitu cepat, melaju bak jet coaster, tapi seperti itulah kenyataanya. Dia selalu meminta bantuanku mengenai keluarganya, begitu juga aku. Akhirnya, aku menceritakan kebiasaanku, keinginanku, eksplorasiku, juga keegoisanku padanya. Kupikir aku hanya akan menyimpannya di senjaku, juga di hatiku. Tapi sekarang juga di hati Zian bahkan kehidupannya.
            “Kenapa kamu tidak pernah menuliskan ide-ide mu itu, Nja?” Tanya Zian. Dia sedang menikmati matahari terbenam di atap samping balkon kamarku.
            “Terlalu kecewa untuk menulis lagi, Yan.” Jawabku. Aku duduk disebelahnya sambil bersila menghadap cahaya keemasan diujung langit.
            “Kenapa?”
            “Karena tulisanku pernah di tolak.” Jawabku lirih.  “Aku jadi merasa tidak berbakat.”
            “Berapa kali tulisanmu ditolak? Enam? Tujuh, delapan, atau mungkin sepuluh?” Tanyanya beruntun. Aku tidak pernah paham apa yang dipikirkannya.
            “Tidak lebih dari dua.” Jawabku singkat.
            Kulihat Zian hanya tersenyum sambil menggeleng. “Pengalaman yang tidak menyakitkan itu tidak ada artinya, Nja.” Dia mengucapkan kalimat yang tidak asing di telingaku. “Karena jika belum melalui pengorbanan, dia tidak akan ingat.”
            “Dari komik, bukan?” Tudingku.
            “Yang penting adalah keyakinan.” Katanya lagi. “Kalau kamu yakin bisa, Insyaallah kamu pasti bisa! Bukankah menulis itu salah satu cara menuju impianmu? Baru juga di tolak dua kali sudah patah semangat sih, Nja. Orang yang di tolak enam kali aja bisa bangkit.” Dia meyakinkanku. Aku sedikit terpukau dengan ucapannya.
            “Kenapa kamu jadi dalam seperti ini sih?” Tanyaku penasaran.
            “Mungkin karena aku merasa waktuku tidak banyak. Jadi aku ingin menghabiskannya dengan menjadi sepertimu.” Jawab Zian.
            “Waktu apaan, sih? Nggak jelas banget kamu nih, Yan. Oh, jadi sekarang kamu baca buku.” Aku manggut-manggut.
            “Sshht. Senja lagi diputar.” Jarinya menyentuh jariku. Kami berdua terdiam dalam kesenjaan.
***
             Seminggu setelah kejadian di atas atap samping balkon kamarku, Zian tidak masuk ke sekolah. Aku sempat menanyakan hal itu pada bu Rini, tetapi hasilnya percuma. Beliau juga tidak tahu-menahu mengenai Zian. Pernah juga kucoba menghubungi ke ponselnya, tapi tidak pernah ada jawaban. Dari situ aku mulai khawatir.
Kekhawatiranku terbukti. Sepulang sekolah aku menemukan sebuket bunga matahari beserta amplop berwarna biru muda dibalkon kamarku. Aku yakin itu bukan dari Intan, sebab Intan tidak pernah mengirimkanku bunga dalam bentuk buket, ia selalu mengirimkanku setangkai itu pun di tanggal yang sama setiap bulannya. Dan hari ini bukan tanggal tersebut.

Untuk sahabatku, Senja.

18:15 Mungkin saat kamu menerima surat ini, kamu sedang menikmati hangatnya matahari terbenam. Dan mungkin, saat kamu membaca surat ini aku sudah tidak lagi berada di dunia. Sekarang aku mengerti, ternyata keluarga memang sangat berarti untukku. Mereka menjagaku, merawatku hingga aku luput menyadarinya.
Aku di vonis dokter terkena kanker otak stadium empat sebulan yang lalu dan ternyata orang tuaku menyembunyikan semuanya dengan baik. Vonis itu seolah-olah membuatku jatuh, dan serasa ingin menjauh bahkan tidak dilahirkan di dunia ini. Tapi kehadiranmu, mengobati lukaku. Menyembuhkan sayapku yang dulu patah dan tertinggal jauh di masa lalu. Aku tersenyum, seakan-akan aku begitu kuat. Tapi sebenarnya, aku lemah. Tanpa kusadar kalau kedatanganmu menempati ruang kosong di sudut kecil hatiku. Aku mencintaimu, sama seperti aku menyukai senja. Senja di hatimu juga senja di hatiku. Aku mencintaimu, sama seperti kamu mengagumi senja, sama seperti aku mengagumi dirimu.
Titip senjaku. It always in my heart and my life.

Terima kasih telah menjadi orang yang berarti di akhir hidupku.
Zian

“And at the end of the day, remember the days, when we were close to the end.”

Aku terisak di antara senja yang mengadu..


goresan pena: Lilin jingga :)
Pemenang Harapan LMCR Raya Kultura

abcs