Dalam Sebuah Cerita


            Langit sore terlukis indah dalam bayangan kelambu senja. Sisa hujan sore itu memaknai sebuah sejarah siang tadi, sejarah yang membuatnya bersyukur atas kesempatan yang telah mampu dia genggam dan tak kan pernah mampu dia bayar walau dengan kata syukur sekalipun. Akbar dapat bernapas lega atas kejadian hari ini. Dia berjalan sambil tersenyum puas ketika menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Dari jauh telah tampak pagar biru rumahnya yang terlihat sudah kusam dan banyak kerusakan di sana sini. Biasanya sepulang sekolah seperti ini dia mengomel atas pemandangan halamannya yang beratakan, Atau gemetar ketakutan karena sesore ini dia baru pulang.
***
            Ada satu nama, Satu masa dulu
Pernah bawa dan beri bahagia
Hingga saat ini masih ku abadikan
Di dalam hatimu1

            Akbar duduk di serambi rumahnya. Menatap malam temaram dan bulan pucat pasi. Dia merenungkan sesuatu. Bimbang. Senandung malaysia masih mengalun di radionya. Bulan tak terlihat lagi. Hawa dingin mulai terasa di tubuh kurusnya.
“Sepertinya mau hujan.” Terkanya.
            Akbar lalu beranjak masuk ke dalam rumah. Sayup-sayup suara gerimis mulai terdengar. Dia pun bergegas ke kamarnya. Ketika melewati kamar ayahnya, dia teringat sesuatu.
            “Ayolah, Bar! Ini untuk kebaikan kita.” Permintaan Raka teringat kembali olehnya.
            “Apa salahnya sekali-kali kamu ikutin permintaan kami. Lagian sesekali kan nggak apa-apa.” Rizqan ikut menimpali.
            “Mmh, gimana ya? Bukannya aku takut. Tapi,..” Ucapannya tertahan.
            “Alaah ! Seandainya aku jadi kamu, tanpa di suruh pun aku mau. Udahlah, Bar. Ikutin aja perintah kami.” Ujar Munir, memotong ucapan Akbar.
            “Kalau kamu tetap nggak mau, Tidak apa. Tapi, anggap saja kami bukan temanmu lagi.” Ancamnya, kemudian mereka pergi meninggalkan akbar.
            Ucapan munir tersebut terlalu menusuk hatinya. Bagaimana tidak, mereka sudah berteman lama sejak sd. Mungkin akbar tidak akan kuat jika mereka harus bermusuhan, apalagi akbar sudah tinggal sekampung dengan mereka sejak kecil. Akbar mulai gelisah lagi akan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi jika mereka bermusuhan seperti itu.
            Kamar ayahnya terbuka, Entah setan apa yang mendorongnya untuk masuk. Dengan berjingkat-jingkat serta dengan perasaan was-was dia membuka laci meja kerja ayahnya. “Huh, maapkan aku ayah. Maapkan aku ayah.” Jeritnya pelan, sembari melihat ke kiri kanan. Dengan langkah gontai dan takut dia keluar dari kamar ayahnya.

            Akbar menekuni kertas-kertas dihadapannya. Matanya sedikit kabur dengan penerangan lampu meja yang hanya 5 watt. Tangannya dan jantungnya seolah-olah berpadu, membuat dia semakin gugup. Dia tidak peduli lagi dengan keadaan diluar kamar, hujan mengguyur malam dengan ganasnya. Matanya masih tak lepas dari kertas itu, entahlah. Dia bingung harus melakukan apa lagi, rasanya otaknya sudah dibumbui rasa bersalah dengan ayahnya. Namun, disisi lain dia tak ingin membuat temannya kecewa dan pergi menjauhinya. Tak ada pilihan lain.
***
            Memasuki bulan april.
            Bulan april tidak lagi akrab dengan musim hujan. Ternyata global warming di bumi tercinta ini semakin menjadi, dan parahnya hampir setiap hari akbar harus disuguhi terik matahari yang menyengat kulit.
            “Tuh kan, gara-gara kamu kita semua jadi dihukum!” Omel Najhan.
            “Lho? Kok aku sih? Bukannya tadi yang bikin kita ketahuan si Akbar?” Protes Munir. “Coba kalau si akbar nggak kaget, trus nggak teriak-teriak, mungkin kita nggak akan dijemur di lapangan. Lagian ngapain aku bikin kita dihukum! Sorry aja, Aku juga nggak mau kepanasan dan berkeringan gara-gara dijemur.” Lanjutnya, sambil berargumentasi.
            “Jiaah! Gayamu itu, Nir.. Udah kaya justin bieber aja.” Seloroh Rizqan, sambil tertawa. Teman-teman lain hanya bisa terkekeh mendengarnya, kecuali akbar.
            “Lha? Wajar dong. Aku kan calon artis.” Ujar munir bangga.
            “Terserahlah, Nir.” Raka tak banyak berkomentar. “Oya? Mana Akbar?” Tanya Raka terkejut, yang lain ikut terkejut.
            Mata mereka menyapu seluruh lapangan sekolah siang itu, dan menangkap sosok akbar di bawah rimbunnya pohon mangga yang berdiri pongah di pojok sekolah. Semua hanya melongo dan kemudian serentak menggeleng heran.
            “Masyaallah, itu anak enak-enakan di bawah pohon!” Seru Munir. “Wah, wah. Kok nggak ngajak-ngajak aku sih!”
            “Siapa yang enak-enakkan?!” Tanya orang dibelakang, suaranya menggema ditelinga munir. Mereka bergeming, tak ada yang berani menjawab pertanyaan itu.
            “Anu bu. . Itu.” Jawab rizqan tiba-tiba, dia menunjuk ke arah Akbar tanpa menoleh. Mata ibu itu langsung menuju kearah yang ditunjukkan akbar. Dengan menahan geram dia menghampiri akbar. Rasa cemas-cemas takut menghinggapi anak-anak (Munir, Rizqan, Raka, Dan Najhan) yang sedari tadi menahan teriknya matahari. Mereka masih tak bergeming ketika ibu itu menghampiri Akbar dengan wajah memerah menahan  marah.

            Pengap, pikirnya.
            “Panas, Akbar?” Tanya ibu Nur datang dari pintu belakang sekolah.
            He-eh, jawabnya bungkam. Diam. Dia hanya berpikir itu hanya sebuah pertanyaan retoris.
            “Iyaa, memang disini sangat panas, pengap, dan..” Seru ibu Nur, sepertinya dia tau apa yang dipikirkan akbar.
            “Sumpek!” Ucap akbar memotong. Ibu itu hanya tertawa kecil.
            Apanya yang lucu? Pikir akbar, bodoh.
            “Nah, sekarang ambil sapu ini.” Akbar baru sadar kalau ibu Nur membawa sapu ditangannya. “O ya? Ini hukuman karena kamu enak-enakkan dibawah pohon!” Seru ibu Nur lagi.
            “Tapi bu?” Sergah Akbar. Ah percuma saja, pikirnya. Dia mulai membersihkan gudang tanpa banyak bicara. Ibu Nur masih berdiri didepan pintu gudang, memperhatikan anak muridnya itu. Tatapan tajamnya seolah-olah ia berkata “Lakukan saja!”
            Sekitar satu jam lebih sudah akbar berada di gudang sekolah. Apalagi kalau bukan membayar hukuman atas apa yang dia lakukan. Padahal akbar berpikir kalau hukuman ini lebih tak sebanding dengan apa yang dia perbuat.  Killer, KEJAM! Pekiknya pelan. Setelah yakin kalau gudang itu sudah cukup bersih, dia menghampiri ibu Nur dengan was-was. AYO AKBAR! AYO AKBAR!  Cepat katakan! (Duh, nggak segitu juga kan? Se-killer apa sih?)
            “Bu, sudah selesai nih. Boleh pulang?” Tanyanya tanpa basa-basi, dia hanya menunduk.
            “Tulisanmu bagus juga, Akbar.”
            HAH? Akbar cukup terkejut. Dia baru ingat, sejam yang lalu dia meninggalkan bukunya di bawah pohon. Tulisannya mengenai kunci jawaban ulangan yang dia curi sejak dua tahun lalu dari ayahnya kini berada ditangan ibu Nur dan dibaca pula oleh ibu itu. Ya.. ayahnya seorang wakil kepala sekolah sekaligus guru bahasa indonesia di SMP-nya (lebih baik tidak usah disebutkan namanya), jadi mudah bagi akbar (bahkan teman-temannya) untuk mendapat nilai ulangan diatas rata-rata. Selama ini dia memang dianggap pintar oleh sebagian besar guru-guru, tapi akbar menganggap kepintarannya hanyalah sebuah awal dari kebodohannya. Dia tidak tau harus mengulang darimana agar membuat dia berhenti melakukan semua itu. Seandainya dalam dunia ini ada undo-nya, mungkin dia bisa memperbaiki semuanya dari awal. Kembali ke ibu Nur.
            “E..ng..” responnya memalukan! Apa yang harus kukatakan? Akbar berusaha keras supaya tidak terlihat bodoh. Tapi percuma, bu Nur ternyata melihat gelagat akbar.
            “Ini jujur lho, Bar!” Seru bu Nur sambil menepuk punggung Akbar. “Tampaknya kamu berbakat seperti ayahmu.” Tutur bu Nur lagi, kali ini wajah bu Nur tampak meyakinkan.
            Akbar menarik nafas sebelum akhirnya dia mengucapkan sesuatu “Terima kasih.” Oh My God! Pekiknya. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kutuknya pula. “Maksud saya, sungguh?” koreksinya.
            Ibu itu hanya mengangguk lalu tersenyum. Ternyata Ibu yang terkenal killer satu sekolah ini murah senyum,  pikir Akbar. Setidaknya untuk saat ini, koreksinya.
            “Tapi kenapa kamu memakai nama aslimmu dan semua sahabatmu?” Tanya bu Nur mengagetkan Akbar. “Juga nama lengkap ayahmu pun ikut andil dalam tulisanmu ini.” Lanjutnya lagi, yang tak kalah membuat akbar terkejut.
            Akhirnya.. Setelah kesekian kalinya dipaksa bu Nur, Akbar pun angkat bicara. Dia membeberkan semuanya, peristiwa dua tahun silam terungkap (Segitunya banget he he he)
            “O ya?” Respon ibu Nur untuk kesekian kalinya. Sedari tadi, sejak cerita dimulai hingga ending pun, respon ibu Nur tetap sama, Sama-sama membosankan, celetuknya. Tapi dalam benaknya ada setetes embun jatuh dan membuat hatinya lega, mungkin karena dia sudah membuka segala sesuatu yang selama ini menjeratnya.
            “Oke!” Ibu Nur bangkit dari kursinya. “Ceritamu sungguh mengesankan. Tapi maap, akbar.” Akbar memperhatikan. “Mungkin ibu akan mendengarkan ceritamu lagi lain kali. Ibu ada rapat dewan guru sore ini. Sebenarnya ada rasa bangga dan kesal serta kecewa dalam diri ibu, tapi apa boleh buat.. Seandainya dalam dunia ini ada undo-nya, mungkin tak akan ada yang namanya penyesalan.” Hey! Itu kan kata-kataku, apa mungkin ibu Nur punya keajaiban? Sepertinya dia tahu semuanya, bahkan sebelum aku menceritakannya. Akbar masih memperhatikan ibu itu, sudut bibir ibu Nur tertarik. Ya, dia tersenyum. Tuh kan? Ibu Nur tahu apa yang kupikirkan. Pikirnya lagi. Sebelum ibu Nur meninggalkan gudang, Ibu itu sempat menoleh dan mengatakan sesuatu pada akbar “Terus terang adalah sikap pahlawan. Tetapi, berani mengakui kesalahan adalah kesatria.” Akbar tertegun. Ibu Nur semakin tak terlihat lagi. Baru kali ini akbar merasa lebih nyaman dari sebelumnya, Ternyata bercerita dengan Ibu Nur tak se-killer sifat beliau selama ini. Sepanjang perjalanan pulang, dia membuka lagi tulisan-tulisannya yang tadi sempat dibaca Ibu Nur. Akbar menemukan catatan kecil: INGAT! 3 hari lagi Ujian Nasional. Belajar betul betul!
            Akbar tertawa sebelum kemudian dia tersenyum.
            Langit sore terlukis indah dalam bayangan kelambu senja. Sisa hujan sore itu memaknai sebuah sejarah siang tadi, sejarah yang membuatnya bersyukur atas kesempatan yang telah mampu dia genggam dan tak kan pernah mampu dia bayar walau dengan kata syukur sekalipun. Akbar dapat bernapas lega atas kejadian hari ini. Dia berjalan sambil tersenyum puas ketika menyusuri jalan setapak menuju rumahnya. Dari jauh telah tampak pagar biru rumahnya yang terlihat sudah kusam dan banyak kerusakan di sana sini. Biasanya sepulang sekolah seperti ini dia mengomel atas pemandangan halamannya yang beratakan, Atau gemetar ketakutan karena sesore ini dia baru pulang.
            Sesampainya dirumah, handphone-nya berdering. Dengan sigap dia meraih saku celananya. Tertera: Ahmad Munir Al-Qautsar (ha ha ha rajin banget ya nulis nama lengkap)
            “Halo?” Sapa orang diseberang. “Assalamuallaikum.”
            “Wa’allaikumsalam.” Sapa akbar balik dengan lesu.
            “Akbar, ini aku Munir!”
            Siapa lagi? Pikirku. “Ada apa, Nir?”
            “Aku cuma pengen tau kamu baca sms-ku atau belum?” Tanya munir ragu.
            “Oh..” Gumamnya.
            “Kok, oh sih? Jelek banget kedengarannya. Ha ha ha!” Kejayusan Munir mulai keluar.
            “And then?” Keluhnya bosan tanpa sedikitpun menangkap sesuatu yang lucu dari pembicaraan itu. Sungguh! Kau menyebalkan! Tuding Akbar.
            “Ha ha ha, tuh kan! Kayaknya kamu perlu di service deh.” Munir tertawa lagi. Terserah! “Jadi gimana, Bar?”
            “Oke!” Jawabnya berbohong, padahal dia tak mengerti yang dimaksud Munir sedari tadi.
            “Ah, yang benar?” Tanya munir lagi, kelihatannya dia tak yakin.
            “I-Y-A!” Eja akbar setengah kesal.
            “Baiklah! Sampai nanti yaa..”
            KLIK!
Aarrgh, geramnya. Akbar membanting diri serta handphone-nya ke kasur. Dia kemudian ingat catatan kecil yang diselipkan Ibu Nur di bukunya. Biasanya menjelang ulangan begini mereka menyuruhku nyolong kunci kan? Sampai sekarang mereka nggak konfirmasi aku nih. Sepertinya mereka sadar. Syukur deh kalau gitu, berarti ujian kali ini aku aman. Thank’s god! Pikirnya sumringah.
Tiba-tiba Akbar ingat sesuatu. Dia terlonjak dari tempat tidur dan memungut kembali handphonenya. Secepat kilat dia membaca sms dari Munir.
Akbar,
Sebentar lagi kan udah mau ujian.
Seperti biasa, bisa kan? Kuharap bisa.
Bgpl ya! J kelulusan kami ditanganmu.
Akbar meringis.
Sepertinya dengan terpaksa dia harus menerimanya, apalagi dia sudah meng-iya-kan sms Munir secara tidak sengaja ditelpon tadi. Malang tak dapat ditolak! Mungkin itu ungkapan yang cocok untuk Akbar.
Sehari setelah menerima sms itu.
Malam ini akbar ingin menuntaskan semuanya. DAG, DIG, DUG! Dia memegang dadanya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Rasanya seperti, hanya suara jantungnya yang terdengar. Padahal diruang tengah Aura (adiknya akbar), ayah dan ibunya tengah bercanda diruang keluarga sambil menonton tv seperti biasa. Langkahnya was-was menuju kamar ayahnya.
Ketika hendak membuka pintu kamar ayahnya, dia dikejutkan seseorang.
            “Hei..!” Dia memegang pundak akbar. Jantungnya semakin berdegup kencang. “Ngapain disini?” Tanyanya tak kalah membuat akbar mati kutu.
            “E..ng..engg”
            “Ini aku, Dava!” Serunya lagi. Akbar pun berbalik.
            “Kak Dava! Kapan pulang?” Tanya akbar, perasaan gugup masih meliputinya.
            “Sore tadi. O ya? Ngapain disini? Hayoo, ngakuu..” Tudingnya. Akbar semakin mati kutu. Dia mencubit lengan akbar gemas. “Ya sudah, ayo ke ruang tengah!” Ajaknya. Kali ini akbar dapat bernafas lega.
            “Nanti saja deh, Kak. Aku pengen ke kamar kecil dulu.” Jawabnya, tentu saja berbohong.
            “Oke. Aku tunggu.” Kak Dava berlalu ke ruang tengah. Kali ini sebelum akbar masuk, dia memastikan tidak ada orang yang akan mengejutkannya lagi.
            SUCCES!
            Setelah misinya selesai, secepat kilat dia mengetik di keypad handphone-nya. Maksudnya sih, malam ini juga kunci jawaban itu sudah tersusun kembali di meja ayahnya. Lalu? Dia ingin ngirim kuncinya via sms, apalagi akhir-akhir ini mereka dalam masa-masa tenang menjelang ujian, rasanya tidak mungkin mereka bisa bertemu disekolah. Seandainya langsung datang kerumah mereka, sepertinya mustahil. Ayahnya tak akan mengizinkan akbar kemana-mana (kecuali ke warung buat beli rokok ayahnya) menjelang ujian. Lebih aman dan praktis jika ngirim via sms, sayang kan teknologi nggak dimanfaatkan.
                A = 1, 11, 14, 15, 16, 18, 23, 25, 29, 38, 41, 43, 48
                B = 4, 9, 20, 26, 30, 31, 35, 40, 46, 49
                C = 10, 12, 13 21, 32, 36, 42, 44, 45, 50
                D = 3, 5, 6, 7, 8, 17, 19, 22, 24, 27, 28, 33, 34, 37, 47
            Finished! Tinggal kirim dan semuanya beres. Pikirnya.
            Setelah dia mengembalikan kunci jawaban ke kamar ayahnya, sms balasan dari munir dan yang lainnya masuk. Thank’s! Akbar terhenyak ketika membacanya. Itukah balasan atas jerih payah yang ku lakukan? Yeah, perang batin yang ku alami sejak dulu datang lagi. Keluhnya. Seperti yang dia lakukan sejak dulu, akbar pun membalas sms mereka. Tapi, jangan terpaku pada kunci, masih harus belajar! Akbar mengetik sms balasan lalu mengirimnya. Yeahh.. Seperti biasa pula. Sms nasehat Akbar tak dipedulikan mereka. Entah, mungkin mereka sibuk belajar (masa iya?).
            Hari H yang ditunggu sekaligus ditakuti pun tiba. Sebelum masuk ruang ujian akbar berpapasan dengan Ibu Algia Nurjannah. Ibu itu hanya tersenyum melihat Akbar, lalu menyodorkan kertas kecil.
            “Ini punyamu?” Akbar terkejut ketika melihat kertas itu, ternyata kertas itu adalah kunci jawaban sms yang tempo hari dikirimnya ke Munir dan yang lainnya. “Iya. Ibu sudah tau semuanya.” Ucap ibu Nur. Hah? Kok bisa? Pekik Akbar dalam diam.
            “Munir dan teman-temannya tertangkap basah menyebarkan kunci jawaban palsu pagi tadi.” Lanjut bu Nur.
“Kunci jawaban palsu?” Akbar diliputi kebingungan.
“Iya.” Jawab bu Nur singkat “Tidak tanggung-tanggung, bukan hanya sekolah kita saja disebarluaskan, tapi juga sekolah tetangga via sms. Dan keputusannya, Munir serta teman-temannya harus bertanggungjawab atas semua ini.” Tiba-tiba saja jantungnya berdegup kencang.
Kunci jawaban palsu? Tanyanya bingung. Munir dan teman-temannya? Apa maksud dari teman-temannya? Termasuk aku kah? Entah kenapa pikirannya terasa berat. Padahal sekitar setengah jam lagi ujian akan dimulai. Seandainya otaknya tiba-tiba bleng, dan kacau ketika menjawab soal-soal itu, mungkin belajarnya selama ini akan sia-sia belaka.
“Kunci jawaban yang kamu kirim itu palsu..” Aku bu Nur setengah berbisik. “Diduga kunci jawaban itu adalah kunci ujian nasional tahun dulu. Benar begitu, Akbar?” Tanya bu Nur.
“Saya hanya disuruh mereka, Bu. Dan saya sama sekali tidak tahu kalau kunci yang saya ambil di laci meja ayah itu kunci ujian tahun dulu.” Jawabku seadanya.
“Oh. Begitukah?” Tanya bu Nur retoris. “Kalau begitu berdoalah, semoga kamu bisa menjawab soal-soal tersebut dengan benar. Kamu belajarkan?”
Akbar mengangguk.
“Oke! Good luck, boy!” Ucapnya semangat.
“Thank’s, Mom!” Akbar membalasnya dengan senyum sebelum akhirnya beliau pergi.
Akhir Cerita:
Setelah hari pertama ujian selesai, ku ketahui sewaktu Munir dan yang lainnya harus mempertanggungjawabkan keteledoran mereka (lebih tepatnya, kesalahan mereka), sebenarnya aku ikut menjadi tersangka dalam kasus pagi itu. Aku juga tahu, Ibu Nur membelaku mati-matian didepan kepala sekolah apalagi ayahku. Ayah memang tak terima pengakuanku atas semuanya, tapi akhirnya beliau mengerti. Benar kata bu Nur: “Terus terang adalah sikap pahlawan. Tetapi, berani mengakui kesalahan adalah kesatria” Aku menghargai itu lebih dari apapun. Aku tidak tahu kabar Munir dan yang lainnya lagi sejak saat itu. Yang ku tahu adalah Bu Nur membebaskanku dari kasus dengan gantinya bu Nur harus dipindahtugaskan mengajar di pedalaman kota Banjarmasin. Aku menyesal saat itu tak sempat mengucapkan terima kasih. Sungguh! Aku sangat menyesal.
Aku belajar banyak dari semua ini. Terima kasih atas semuanya.
Orang tidak akan pernah tau benar kalau belum pernah salah! Kata-kata ayah itu selalu terngiang diotakku.

“Dalam segala hal, keberhasilan tergantung pada persiapan yang matang, dan tanpa persiapan yang demikian, kegagalan pasti dialami.” (Konfusius)

                                                Banjarmasin, 5 mei 2011
                02.54 Dini hari
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini, setelah di edit naskahnya aku kirim ke lomba FLP dalam Seminar menulis nasional dan menjadi juara 1 :) Entah kenapa para juri menjadikan cerpen ini yang terbaik. Alhamdulillah ya..... :D
0 Responses

Posting Komentar

abcs