Merayu Surga

=> Part I
oleh: Rahmada Devi

“Kuminum alkohol murah
Dan berharap semua kan berubah
Semua orang menganggapku sampah
Kan kubuktikan semua itu salah” *)

Andai. Oh, seandainya saja…
Meracau. Entah apa yang berputar di kepalanya. Mungkin saja burung belibis, atau mungkin burung unta. Risa merasa kepalanya penuh dan mulutnya ingin mengeluarkan semua isi otaknya.
Otak ikan! Otak Udang! Racaunya lagi. Ayo, sebutkan saja beberapa jenis otak yang kau suka… Risa tertawa, ia merangkulku dengan sembarangan dan hampir tersandung. Ia berjalan tidak teratur, mulutnya mengucapkan beberapa kata yang kurang kupahami. Tubuhnya terasa begitu berat. Hingga kusadar saat itu mulutnya sedikit berbuih.
***
            Kamar 32. Aku masih menutup hidungku. Bau obat begitu mengusik hidung sejak aku masuk gedung bertingkat tujuh ini. Seharusnya aku sudah terbiasa dengan hal ini, namun tetap saja aku masih tidak tahan dengan aromanya. Aku hampir yakin perempuan di hadapanku saat ini sudah tidak lagi mengenal aroma menyengat yang membaur menjadi satu di udara. Tubuhnya begitu kurus dengan kulit tipis yang menonjolkan tulang-tulangnya. Melihat keadaan seperti ini membuatku sangat prihatin. Kugenggam tangannya. Kemudian kuputuskan untuk mengambil air wudhu dan sholat dhuha di samping perempuan tersebut.
            Dua tahun yang lalu, perempuan ini membawanya ke suatu tempat yang hingga saat ini terlalu sulit kusebutkan namanya. Perempuan itu berkata, anak gadisnya akan di rukiyah. Entah apa itu rukiyah… Kupikir, rukiyah tidak jauh berbeda dengan acara aqiqah. Sebab beberapa bulan sebelum itu, anak gadisnya sempat di aqiqah dengan menyembelih satu ekor kambing jantan muda yang kemudian oleh perempuan itu dimasak bistik. Aku mencicipinya. Bagaimana mungkin aku akan lupa dengan rasa masakan perempuan itu, amat lezat dan begitu gurih.
            Perempuan itu pernah berkata padaku, sewaktu Risa kecil ia sangat nakal dan selalu dianggap pembawa sial bagi keluarganya. Satu demi satu mereka yang dulunya perhatian dan peduli padanya menghilang. Hingga saat ini pun ia hampir di benci oleh semua orang. Suatu ketika perempuan itu sadar kalau anaknya itu belum pernah di aqiqah, entah apa yang menyadarkannya. Seingatku kala itu, tak banyak orang yang menghadiri hajatan tersebut. Akulah yang pertama kali mencoba masakan perempuan itu.
            Perempuan itu juga pernah bercerita bahwa dua minggu sekali dirinya rutin membawa anak gadis satu-satunya pergi ke tempat seorang kiai, mungkin untuk melaksanakan sesuatu yang ia sebut-sebut sebagai rukiyah. Katanya, orang pintar di sana selalu melafadzkan ayat suci al-Qur’an yang dulu masih sering ia dengar dari anak gadis satu-satunya itu. Saat itu, anak gadisnya tidak memberi reaksi apapun. Hanya diam, diam, diam dan terus diam.
            Bodoh amat! Aku tidak peduli tujuan mereka. Aku hanya berharap waktu mempercepat kerjanya. Aku sudah merencanakan dan mendaftar apa saja yang akan kulakukan setelah itu. Kau tahu? Minuman itu lebih enak daripada es dawet yang sering perempuan itu janjikan padaku sewaktu kecil! Aku ingat, itulah jawabannya ketika aku memastikan cerita perempuan itu. Ia tertawa tidak teratur. Kucoba menjauh darinya, aroma menyengat itu mencekik penciumanku.
            Jauh… Sebelum perempuan ini terbaring koma. Aku masih sering mampir kerumahnya, sekedar mempererat tali silaturahmi atau hanya sekedar untuk alasan payah yang membudaya seperti meminjam secangkir gula atau urusan pinjam-meminjam lainnya. Sebenarnya jarak kami hanya terpisah beberapa rumah saja, wajar jika aku mengetahui sedikit tentang mereka. Em.. tidak sedikit, tapi tidak terlalu banyak juga sebenarnya.
            Suatu pagi, aku pernah sedikit lancang mengintip sekaligus menguping dari balik pintu yang tidak ditutup rapat dan di sekitar pintu masih menyisakan aroma yang selama ini kubenci. Aroma keparat! Belum sempat aku menjauh untuk menghindari aroma itu, niatku terhenti mendengar gaduh dari dalam rumah.
            “Kau ini! Anak tidak tahu diri! Gadis macam apa kau? Perempuan…”
            “Perempuan apa Ma?!” Sahut gadis itu lantang. Bulu kudukku hampir berdiri mendengar suaranya.
            Plak! Sebuah tamparan keras tepat mendarat di pipi kanannya. Perempuan itu lalu pergi dengan terisak-isak. Sementara gadis itu hanya terdiam, mungkin tak menyangka akan mendapat sebuah tamparan. Ia kemudian tersandar di engsel lemari tua peninggalan almarhum ayahnya. Terduduk. Aku mematung dengan tangan menutup separuh wajahku. Aroma itu masih ada.
            “Rasanya hambar. Kau tahu? Itu hambar. Tidak asin seperti gula! Oh bukan, teman. Bukan gula, mungkin.. Gila!” Ia tertawa lepas dan tak teratur. Menampilkan deretan giginya yang tak lagi seputih dulu.
            Aku yakin ucapannya yang ini hanya bohong. Lalu apa yang kulihat ketika aku masih berdiri mematung di depan pintu rumahnya? Kalian tahu, perlahan dalam diam, dia, lalu pipinya basah, matanya berkaca-kaca, dan wajahnya menganak sungai. Itu sudah cukup membuktikan ia masih merasakan rasa sakit. Perasaannya belum musnah sepenuhnya. Aku yakin itu.
Umurnya hanya terpaut dua tahun dariku. Bulan ini tepat bulan ulang tahunnya. Dulu sewaktu smp aku dan teman sekelasnya pernah menyusun rencana untuk merayakan ulang tahun tanpa sepengetahuannya. Aku meminta ibunya membuatkan kue bolu cokelat kesukaannya. Kemudian diatas kue tersebut kuberi hiasan krim dan menuliskan namanya dengan susu cokelat. Sempurna dan sederhana.
Aku bingung harus memberinya apa tahun ini. Aku hanya berharap tak menemui aroma yang sama lagi di hari ulang tahunnya nanti. Semoga saja.
Harapanku tidak terwujud. Dengan membawa sebungkus kado mungil berulang kali kuketuk pintu rumahnya. Tak ada jawaban. Suasana masih hening sama seperti saat aku datang. Hingga kusadar pintu rumahnya tak dikunci, aku khawatir. Aku menemukan seorang perempuan tergeletak lemas masih dengan mukenanya.
Usai menunggu sekian jam, seorang dokter keluar dengan wajah pasrah.
*
 “Sungguh, jika kau tahu aku sangat khawatir dengan keadaanmu.” Tubuhnya semakin berat ketika kutemukan ia di mulut gang. Sebelum ini kudengar ia meracau kalimat yang tak begitu jelas. Dan aku? bodohnya diriku! Menceritakan hal itu di saat ia dalam keadaan mabuk. Ia tak akan paham.
“Kau siapa? Mengapa kau begitu baik padaku?” Lirih. Kurasa saat itu ia berusaha keras untuk merangkai kalimat yang akan ia ucapkan. Aku hanya diam. Mungkin inilah yang banyak disebut dalam dunia medis dengan amnesia jangka pendek.
Kepercepat langkahku membopongnya sebelum warga menemukannya dalam keadaan seperti ini.
“Kau tahu dimana ibumu, Sa?” tanyaku keesokan paginya. Aku memberinya semangkuk bubur kacang hijau hangat saat itu.
Ia hanya menggeleng. Tatapannya kosong. Buburku tidak menarik perhatiannya sedikitpun. Gadis dihadapanku terlihat sangat kacau. Matanya merah dan dari mulutnya menguar sedikit aroma yang tidak asing bagiku.
Kucoba menyuapinya, tapi sedikitpun ia tak bergeming dan tatapannya masih kosong. Aku menyerah. Kuletakkan kembali bubur itu. Aku berjalan kemudian berhenti di depan almari tua peninggalan almarhum ayahnya. Satu persatu kutatap piala, penghargaan serta beberapa bingkai foto yang agak kusam tersusun rapi di dalam almari tersebut. Setahuku, ayah Risa seorang atlit renang yang sudah banyak menorehkan penghargaan. Sama halnya dengan Risa, ia sudah menggemari olahraga itu semenjak kecil. Seingatku, dulu sewaktu smp Risa selalu mengajakku ke kolam renang umum setiap minggu pagi. Itu dulu, kemudian semuanya perlahan berubah semenjak ayahnya meninggal.
“Aku ini..” kudengar Risa berbicara. Hal itu membuatku lega. Aku berbalik dan masih kudapati tatapannya kosong. Aku menunggu kata-kata selanjutnya yang akan meluncur.
“Aku ini tidak berguna ya?” ucapnya.
“Kata siapa?”
“Aku hanya pembawa sial.” Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. “Mereka bilang akulah penyebab ayah meninggal.”
“Jangan berkata seperti itu.”
“Kenyataannya memang begitu, kan? Mereka semua memebenciku! Bahkan dia juga membenciku.”
“Siapa?”
Risa diam.
“Ibumu?” Setelah kulontarkan kalimat itu, ia mengangguk pelan. Kuhampiri ia. “Kau salah. Ibumu sangat menyayangimu. Di dunia ini, tak ada seorang ibu pun yang membenci anaknya, kecuali…”
“Kecuali Ibuku. Iya, kan?” Ia memotong pembicaraanku. Air matanya menetes.
“Bukan. Maksudku, kecuali seorang ibu yang terpaksa membenci anaknya.” Aku diam, ia diam.”Kau tahu? Dalam hal ini, ibumu sama sekali tidak membencimu ataupun terpaksa membencimu. Ia hanya salah.”
“Maksudmu?” Risa menatapku, mencari tahu apa yang aku bicarakan.
“Ia hanya menggunakan cara yang salah untuk menunjukkan kasih sayangnya kepadamu. Ia tidak pernah bermaksud memarahimu apalagi membuatmu berpikir kalau ia membencimu. Aku yakin itu.”
“jangan sok tau.” Tuduh Risa.
“Aku menemukan ibumu pingsan dengan foto mu di tangannya. Apakah itu menunjukkan kalau ia membencimu?” Pertanyaanku kali ini membuat ia terkejut.
Ia mencoba merangkai kalimat dengan susah payah. Matanya berair. Aku yakin, mengetahui kenyataan itu begitu memukul hatinya. Kucoba menenangkannya lagi.
Akhirnya aku menemukan banyak penjelasan. Risa menceritakan lagi banyak hal tentang keluarganya. Tentang ayahnya dan ia. Juga dengan ibunya. Maupun ia dengan anggota keluarganya yang lain. Aku tidak tahu pasti, mungkin itulah awal malapetaka di rumah mereka. Tapi kuharap, awan gelap di lorong hatinya bergerimis. Kemudian melahirkan pelangi yang tak terkira indahnya.
***
Seusai sholat dhuha, kudengar suara seseorang masuk.
“Assalamuallaikum.”
“Walaikumsallam. Risa?”
*
            Seminggu setelah kumenemukan gadis itu, aku masih menyempatkan diri menjenguk perempuan yang saat ini terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Kamar 32. Risa menyambutku dengan senyum khasnya. Aroma menusuk itu tak lagi mengusikku. Aku sangat senang mendapati dirinya sudah mau mengenakan kerudungnya lagi. Ia masih sama seperti dulu, manis. Senyumnya menawan. Mungkin hal itulah yang membuatku tergila-gila padanya sejak dulu.
Ya Tuhan, anugerahmu yang manakah yang mampu aku dustakan?
Disaat kekecewaan membuatnya rapuh dan surgamu tak lagi mewangikannya. Izinkanlah ia merayu surgamu kembali ketika ia temukan sayap-sayapnya yang pernah tertinggal…[]


*) Diadopsi dari lirik lagu Alkohol Murah-Sepatu Bau
0 Responses

Posting Komentar

abcs