Hidup Tanpa Sosialisasi


Tidak sengaja. Entah tanggal berapa dalam beberapa bulan terakhir—sebelum Juni—di tahun ini, aku menemukan sebuah cerita—kisah nyata— yang begitu mengiris hati.
Melihat isi rapor kenaikan kelasku yang kurang begitu memuaskan, aku memutuskanku untuk membuka lagi sebuah cerita yang pernah kubaca, namun belum terlalu menarik perhatianku.
Sebuah Artikel yang hadir di sela-sela halaman buku Sosiologi kelas sepuluh semester kedua yang kupunya itu akhirnya mampu menarik seluruh pehatianku. Well, mungkin cerita ini sudah terlalu lama. Dan kuakui aku baru mengetahuinya sekarang [hello.. kemana aja aku selama ini? -___-].
Mungkin tidak sampai menelurkan airmata [bahasa apa pula ini? :p], tapi cukup dengan berlinang saja, setelah membaca artikel tersebut diriku merasa sadar, bahwa banyak kasih sayang yang kudapat di dunia ini, banyak nikmat yang tanpa sadar aku terima setiap detik aku menarik nafas. Tapi, mengapa aku selalu protes? Selalu merasa kurang puas atas apa yang aku terima? T.T
Dan sekarang…
Aku mencoba bersyukur atas semua anugerah yang telah di berikan Allah SWT untukku. Atas semua kasih sayang kedua orangtuaku, atas rahmat yang tak henti-hentinya mengalir di kehidupanku. Aku berterima kasih masih punya teman dan dua orang sahabat yang selalu mendorongku, memberiku semangat, dan memotivasiku untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Aku hidup tidak dalam kesendirian. Tidak hidup dalam kekosongan. Aku masih mampu merasakan Tangis dan Tawa. Aku merasa aku harus bersyukur untuk hal itu.
Dan aku sadar, bahwa aku di berikan airmata untuk mengobati rasa sedihku. Bahwa rasa sedih juga merupakan anugerah Allah.
Kita tidak akan pernah tau bahagia sebelum merasakan apa itu yang namanya sedih…
=====================================================================
Hidup Tanpa Sosialisasi

            Tahun 1938. Tepat di musim dingin, seorang pekerja social dengan rasa ingin tahu berjalan ke sebuah  pintu di rumah pertanian daerah pedesaan Pennsylvania. Dalam upaya menyelidiki kemungkinan terjadinya kasus penyiksaan anak, pekerja social itu segera menemukan seorang anak berusia lima tahun yang di sembunyikan di gudang lantai kedua. Anak itu bernama Anna yang terjepit di atas sebuah kursi dengan tangan terikat di atas kepalanya sehingga ia tidak dapat bergerak. Begitu pun kakinya terlihat begitu lemah sehingga ia tidak dapat menggunakannya. Anna dilahirkan tahun 1932 dari seorang wanita berusia 26 tahun yang menikah dan terganggu secara mental yang tinggal bersama ayahnya. Sedangkan ayahnya sendiri tidak bisa menerima cucu tidak sah dari anak perempuannya itu di rumah. Sebab itu, Anna menghabiskan enam bulan pertamanya di berbagai klinik perawatan. Karena ibunya tidak mampu membayar biaya perawatan, Anna kembali ke rumah kakeknya yang tidak menyukainya. Untuk mengurangi kemarahan ayahnya, ibu Anna memindahkannya ke loteng di mana ia hanya mendapat sedikit perhatian dan susu secukupnya. Di sanalah ia tinggal hari demi hari, bulan demi bulan, tanpa berhubungan dengan manusia lain selama lima tahun lamanya.
            Kondisi Anna sangat kurus dan lemah dalam berpikir. Dia tidak dapat tertawa, tersenyum, bicara atau bahkan tidak dapat menunjukkan kemarahannya. Dia sama sekali tidak mampu memberikan tanggapan apa-apa seolah-olah hidup sendiri di dunia yang kosong.
Sumber: Sociology, John C. Macionis, 6th edition, Prentice Hall Inc. New Jersey 1997

0 Responses

Posting Komentar

abcs